Kamis, 31 Januari 2013

Ki Ageng Mangir Panembahan Senopati , versi Trah Mangir Tapos Depok Jawa Barat


Selama ini secara umum diketahui bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir adalah sang mertua sendiri, Pangembahan Senopati. Tetapi ada catatan lain yang menyatakan bahwa bukan Panembahan Senopati yang membunuh menantunya itu. Seperti diketahui pembunuhan Ki Ageng Mangir terjadi di tengah-tengah acara paseban raja. Watu Gilang yang dipakai untuk menghantam(-kan) kepala Ki Ageng Mangir adalah batu tempat sholat Panembahan Senopati. Kalau mengacu pada catatan ini, maka teori watu gilang sebagai bukti dan tempat perkara kejadian terbantahkan. Singgasana raja Mataram waktu itu adalah kursi kayu berukir dan pastinya tingginya lebih dari 60 cm, sementara batu Gilang tingginya sekitar 30 cm, tidaklah mungkin seorang raja duduknya "ndlosor" atau model lesehan, jadi si penyebar berita kematian Mangir disinggasana Panembahan Senopati pastilah tidak melihat secara langsung kejadiannya.
Panembahan Senopati adalah seorang Muslim yang taat. Janji untuk menerima pisowanan Ki Ageng Mangir sebagai menantu adalah kata "sabda pandita ratu" yang tidak mungkin diingkari. Sedangkan mengingat Ki Ageng Mangir adalah orang yang sakti mandraguna, maka yang bisa membunuhnya pastilah orang yang "sakti" juga. Kata sakti diberi tanda petik, artinya bisa saja orang ini tidak terlalu sakti, tetapi memiliki "ilmu kecurangan" tersendiri. Pembunuhan yang dilakukan dilakukan didepan raja adalah tuduhan tendensius untuk menyebar dan menimbulkan asumsi Panembahan Senopati adalah kejam dan pengecut. Dari catatan baru tersebut terungkap suatu fakta lain, adanya tokoh misterius di dalam lingkaran dalam (inner circle) kekuasaan kraton Mataram. Konon dia adalah putra Panembahan Senopati yang lain, yaitu Raden Ronggo yang selama ini bertindak sebagai agen penghubung bagi para adipati yang "mbalelo" terhadap Mataram. Tokoh inilah yang disinyalir kuat sebagai pembunuh Ki Ageng Mangir.


Kepala Ki Ageng Mangir pecah bukan karena dibenturkan sang mertua pada watu gilang, tetapi remuk dihantam dari arah belakang oleh Raden Ronggo ketika Ki Ageng Mangir sedang shalat Asyar. Seperti diketahui Raden Ronggo sangat kuat, dia biasa mempermainkan "watu gatheng" seberat 15 kg, dipakai untuk membentuk kekuatan tangannya (jaman sekarang : besi barbel). Raden Ronggo adalah putra Panembahan Senopati yang mampu dipengaruhi oleh para adipati yang membangkang terhadap Mataram. Keberadaannya di kraton Mataram tidak disukai bahkan oleh Panembahan Senopati sendiri. Disinyalir dia cemburu berat pada Ki Ageng Mangir yang tiba-tiba diambil mantu oleh ayahnya, dan selain itu adalah bahwa Raden Ronggo orang yang suka pamer ilmu kesaktian, Ki Ageng Mangir dipandang sebagai orang sakti yang akan menjadi pesaingnya di Mataram, watak ini sudah dibaca oleh Panembahan Senopati. Maka begitu ada kesempatan untuk membunuh Ki Ageng Mangir, dia pun tak malu-malu bertindak, sekalipun dengan main curang. Patih Mondoroko yang kebetulan ada di dekatnya, tidak mampu mencegah pembunuhan itu, saking cepatnya gerakan Raden Ronggo menghantamkan batu ke Ki Ageng Mangir.

Patih Mondoroko yang adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijogo, adalah tokoh yang mengislamkan Ki Ageng Mangir. Secara logika hampir tidak mungkin Mondoroko menikahkan putri sulung raja yang sekaligus cucu kesayangannya, Sekar Pembayun, dengan orang non Muslim. Permintaan pengislaman Ki Ageng Mangir adalah atas permintaan pribadi Panembahan Senopati karena dia menginginkan tambahan kekuatan dari wilayah Mangir , data intelejen yang dihimpun tim lapangan Mataram menyimpulkan kalau Ki Ageng Mangir lebih tepat dijadikan kawan atau menantu daripada dijadikan musuh.

Ki Ageng Mangir adalah salah satu tokoh sakti dan pemimpin yang didukung oleh kekuatan rakyat. Oleh karena itu kalau Mataram merangkulnya, maka akan tercipta kekuatan baru pendukung Mataram. Strategi pendekatannya adalah dengan menjadikannya sebagai menantu. Rupanya gelagat ini dibaca oleh para adipati pembangkang dan mereka kemudian mempengaruhi Raden Ronggo untuk memanfaatkan momentum yang tepat untuk membunuh Ki Ageng Mangir tanpa sepengetahuan Panembahan Senopati. Akibat peristiwa itu Panembahan Senopati marah besar pada Raden Ronggo, tak lama kemudian raden Ronggo terbunuh secara misterius oleh seekor naga, konon Raden Ronggo tewas oleh tusukan tombak Baru Klinthing yang dipegang oleh patih Rojoniti , adik kandung Ki Ageng Mangir diluar tembok Mataram dalam suatu pertarungan yang fair, itulah yang membuat tak ada gejolak besar di wilayah Mangir, Jadi penyebaran berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati adalah intrik politik musuh musuh dalam istana Mataram untuk mendiskreditkan reputasi Panembahan Senopati. 


Sementara ada berita khusus tentang Patih Rojoniti yang diberikan daerah Perdikan disebelah utara pantai Samas, yang sekarang disebut dengan Kepatihan, terletak di wilayah Srandakan, untuk menghormati Mangir maka tempat itu hanya disebut dengan Patehan. Rojoniti bersama dengan para pembatunya Ki Pandan Wangi dan pengikutnya agar membuka lahan disebelah utara dan sebelah timur Pertapan Watu Singkil. Patih Rojoniti dinobatkan sebagai pelindung “Rojoniten”. Ki Pandan Wangi memberi nasihat agar dalam membuka lahan dibagi menjadi 5 perdikan, yaitu sebelah timur yang dipimpin Ki Demang Onggojoyo pada akhirya disebut Dusun Demangan,sebelah timur laut dipimpin oleh Nyai Irogati pada akhirnya disebut Perdikan Irogaten,disebelah selatan di pimpin oleh Ki Rejo Menggalan.  Cokro Kenongo membuka lahan daerah yang sudah rata pada akhirnya disebut menjadi Dusun Wanarata dan akhirnya sebelah utara dipimpin oleh ki Delingsara

Sekar Kedaton Pembayun adalah seorang wanita yang cekatan, cerdik dan berfikiran jauh kedepan. Ia adalah anak sulung dan anak kesayangan Panembahan Senopati. Fakta bahwa dia dikirim ke kakeknya Ki Penjawi di Pati, paska terbunuhnya Ki Ageng Mangir, adalah usaha ki Mondoroko dan Panembahan Senopati untuk meredam kepedihan hati putrinya. Kelak ia melahirkan seorang pahlawan bernama Bagus Wanabaya yang menjadi Murid kesayangan Pangeran Benawa di Kendal lalu di kemudian hari berjuang melawan VOC Belanda membantu Sultan Agung. Paska perang VOC dan Mataram di Jepara, pada tahun 1619 Putri Pembayun bersama rombongan veteran perang Jepara hijrah ke Kebayunan, Tapos, Depok dan atas inisiatif Ki Jepra sebagai tetua keturunan Pajajaran rombongan bisa bertemu dengan Pangeran Jayakarta di Jatinegara sesudah Pangeran Jayakarta gagal mempertahankan Sunda kelapa dari serbuan Yaan Pieters Zoen Coen. Kemampuan intelektual dan kecakapan bertindak Putri Pembayun sebagai petugas intelejen sangat mendukung data sejarah tersebut. Boleh dikata Putri Pembayun adalah salah satu pahlawan wanita tokoh sejarah lintas nasional, bukan sekedar lokal Jawa Tengah, Mataram atau Bantul saja.


Selanjutnya ada kisah menarik lainnya yaitu Tumenggung Maduseno yang merupakan suami dari cucu Putri Pembayun, Dewi Sekar Rinonce. Sekar Rinonce adalah putri dari Bagus Wanabaya dengan Nyai Linggarjati, adik Purwagalih dengan gelar Ki Jepra, salah satu keturunan Siliwangi. Bagus Wanabaya berputra 3 orang : Utari Sandi Jayaningsih, Raden Panji Wanayasa dan Dewi Sekar Rinonce ( Dimakamkan di Cilangkap RW 8 Tapos Depok). Tumenggung Maduseno sendiri adalah putra dari Panembahan Sedo Krapyak, raja Mataram ke II yang menjadi salah satu komandan Pasukan Mataram di Batavia. Jadi alur sejarah Ki Bodronolo di Kebumen kemungkinan besar berasal dari Dewi Sekar Rinonce ini. Keturunan Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun kebanyakan menyebar di Kebayunan, Tapos, Depok. Upaya untuk menghilangkan sejarah ini sesuai dengan tujuan Ki Bagus Wanabaya yang menginginkan agar anak-keturunan Ki Ageng Mangir lebih baik berbaur saja di masyarakat tanpa gelar kebangsawanan. Oleh sebab darah kepahlawanan itu bukan berasal dari kraton tetapi dari kiprah trah Mangir di lapangan. Ki Bagus Wanabaya lebih menginginkan agar keturunannya bisa berperan seperti akar pohon, yang mampu menghidupi seluruh pohon tanpa harus kelihatan dari luar. Sebagaimana dulu Bagus Wanabaya dan seluruh anak-anaknya giat menjadi komandan pasukan telik-sandi Mataram di Batavia (tahun  1625 - 1629) untuk menjadi tokoh penting penyerbuan Mataram ke Batavia. Tentu saja penguasaan bahasa Belanda merupakan syarat mutlak untuk menjadi Tim Intelejen Mataram di Batavia pada masa itu.

Rabu, 30 Januari 2013

Ki Ageng Mangir : Jejak Cucunya di Batavia, Raden Panji Wanayasa Jatijajar Tapos Depok




Raden Panji Wanayasa (dimakamkan di Tepi Danau Jatijajar Tapos Depok Jawabarat) , Pejuang bangsa di palagan Batavia VOC 1625 - 1629 dalam ekspedisi Kaladuta Sultan Agung. Dilanjutkan dengan Palagan Cikeas Kali Sunter 1682 dalam perang Sultan Ageng Tirtayasa. Telik sandi unggulan Mataram didalam benteng Batavia menyamar sebagai perawat kereta kuda. Putra Bagus Wonoboyo dan Nyimas Linggarjati ini adalah cucu langsung dari Ki Ageng Mangir Roro Pembayun, berarti juga cicit dari Panembahan Senopati, berjuang untuk kerajaan Mataram Plered , dibawah raja Sultan Agung Hanyokrokusumo yang tak lain tak bukan adalah sama sama cicit Panembahan Senopati. Putra Panji Wanayasa adalah Lie Suntek alias Santri Bethot yang menjadi salah satu penasehat khusus kerajaan Banten. Panji Wanayasa beristrikan seorang Cina Batavia, yang kelak menjadi pejuang membantu Mas Garendi di pembrontakan Cina. Salahsatu kakaknya adalah Nyai Dewi Sekar Rinonce istri dari Tumenggung Maduseno yang punya nama lain Kertiwongso yang pernah menjabat sebagai adipati Mataram di Jepara, Maduseno inilah pembawa kepala JP Coen ke Mataram yang disamarkan dalam bungkusan yang dibawa oleh anaknya yang baru berumur lima tahun bernama Bodronolo, pada waktu itu Nyai Dewi sekar Rinonce ibunya masih berada di Bumi Tapos Depok, Kemungkinan besar sang ibu tak pernah pergi ke Mataram sebab di Kampung Sindang Karsa Cilangkap RW 08 terdapat kompleks makam misterius Mak Uyut Cerewet , tak ada bangunan nisan dalam seluruh kompleks karena memang tak ada yang berani membangun dalam kompleks makam itu, tersebutlah nama Nyimas Dewi Sekar Rinonce dalam makam tersebut sebagai pemilik makam tertua  di kompleks makam misterius yang tampak selalu bersih dan teduh, seakan akan ada orang yang selalu menyapu makam setiap saat.

Selasa, 29 Januari 2013

Ki Ageng Mangir : Trah Perjuangan yang Penuh Penderitaan, Ada anak-anakku disitu.

Mbah Buyut Panjiwanayasa, Pejuang 2 Sultan diatara 2 Perang Besar, 1628 dan 1682 ketika Mataram Menyerbu VOC dan ketika Banten diserbu VOC, dan Raden Panji Wanayasa berperan diantara keduanya, seperti kisah Mangir lainnya tak ada yang menceritakan tentang perjuangan trah Mangir.
Nyimas Utari Sandijayaningsih. Kisah terbaik, manusia terbaik, pejuang terbaik bagi bangsa ini, yang pernah lahir dari Rahim Trah Mangir, kecerdikannya , keberaniannya dan kesetiaannya pada negara ini berhasil membunuh salahsatu Jendral Belanda di Nusantara ini Yan Pietes Zoen Coen pada tanggal 1629, Bunda, kenangan keberanianmu tak pernah tercatat oleh tinta emas bangsa ini, tetapi api perjuangannmu akan selalu membakar jiwa kami anak cucumu.
Makam Ayahku : Ngadimin Winotosastro, Trah Mangir, Krapyak Bantul, wafat 20 Desember 1977, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Semaki Yogyakarta , seorang prajurit batalyon 405/ Yon Dodik V/Puslatpur Klaten, dari beliaulah mengalir beribu mata air cinta dan sejarah asal usul sifat ngeyel tapi pantang mundur keluarga kami.
Roro Sekar Pembayun dalam guratan lukisan cucunya Basuki Abdullah, putri Panembahan Senopati ini pejuang cinta dan kesetiaan pada negara dan orangtuanya, sahabat Pangeran Jayakarta dan sesepuh Kecamatan Tapos depok
Ki Ageng Mangir Wonoboyo, Keislamannya meninggalkan banyak penyimpangan dan bias sejarah kerajaan Mataram, gugurnya Ki Ageng Mangir dalam keadaan sujud sembahyang mengisyaratkan ketinggian kadar keimanannya sebagaimana Umar Bin Chottob dan Sayidina Ali wafat ditusuk pedang dari belakang dalam keadan sujud shalat.
Bagus Wonoboyo putra tunggal Ki Ageng Mangir dengan Roro Pembayun, Komandan divisi Telik Sandi di Mataram 1624 - 1529, Timnya berhasil membunuh Gubernur Jenderal VOC ke 4 Yan Pieters Zoen Coen pada 20 September 1629

Basuki Abdullah, Trah Mangir, lahir di Solo, salah satu pelukis besar di Indonesia , Meninggal dalam keadan dibunuh oleh seorang penjahat yang masuk kedalam rumahnya
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo Trah Mangir lahir di Cepu , wafat dihukum mati oleh pemerintahan Sukarno, sahabatnya sendiri ketika bersama sama menjadi muris HOS Cokroaminoto. Dalam gambar SM Kartosuwiryo tampak sedang shalat terakhir sebelum menjalani hukuman tembak mati di kepulauan seribu Jakarta.
Pramudya Ananta Tur , Trah Mangir lahir di Blora .Satrawan Indonesia satu-satunya penerima hadiah Nobel, hampir separuh hidupnya dilewatkan dalam penjara karena dianggap terlibat gerakan PKI oleh rezim orde baru , tulisannya tajam, keras , revolusioner dan mendetail, wawasannya tentang Nusantara luar biasa, wafat dalam kondisi biasa
Raden Saleh, Trah Mangir dari fihak Ibu, lahir di Temanggung, Seniman lukis besar yang berpendidikan Belanda, lukisannya tentang penangkapan Diponegoro, memasukkan wajahnya dipihak Pangeran Diponegoro
Mimpimu nak akan menjadi kenyataan, Darah Mangirmu mengalir diantara kesusahan dan kepedihan hidup, jadi tak ada alasan untuk mundur menjadi pemimpin, pemberontak seperti Mangir, Intelejen seperti Bagus Wanabaya, Utari, Panji Wanayasa kakekkmu, atau dihukum bahkan dihukum mati seperti Pramudya atau Kartasuwiryo, itu hanya resiko takdir  

NastafasAssyifa Trah Mangir Depok, berlatih beladiri dan penyanyi. Semoga impianmu menjadi pemimpin terijabahi
Hafidz Ammar, Trah Mangir Tapos Depok, berlatih dengan sangat keras di perguruan Ninjutsu
Rausyan Fikri, Trah Mangir Tapos Depok , Lahir di Medan10 Desember 1993, semoga jejak perjuanganya tak dipenuhi penderitaan sebagaimana para pendahulunya, saat ini kuliah di Sarjana Magister (S2) Psikologi Gunadarma Jakarta
Istriku , Zunaida Trah Tengku Sa'di dari kerajaan Samudera Pasai Aceh Utara, ketika sedang berziarah dimakam ayah kami di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara semaki Yogyakarta, menyempatkan diri di makam Jendral Sudirman.
Aku dimakam Roro Pembayun di Kebayunan Tapos Depok, Leluhurku yang pemberani, cerdik dan penuh cinta kasih, tak terbayang bagaimana berjuang dengan cintakasih sesamanya, bagaimana beliau bisa terpisah ratusan km hanya untuk pergi berjuang, bagaimana bisa dia berjuang di Mangiran, Kota Gedhe, Pati Kendal, Jepara dan Batavia selama hidupnya.



Hari itu 26 Maret 2008 dan 24 Mei 2010 aku harus berpisah dengan keduanya, Ibunda Baroyah dan adikku Zainal Rifai, tak ada kata lain selain kepedihan dan kedukaan yang mendalam, kalian selalu dihati kami








Senin, 21 Januari 2013

Kecamatan Tapos Depok ; Kawasan Taman Makam Pahlawan Mataram dan Banten

Kompleks makam Tubagus Pangeling, putra Sultan Ageng Tirtayasa pada perang Banten VOC 1682 di Leuwinanggung RW 10 Kecamatan Tapos Depok Jawa Barat
  
Makam Roro Pembayun Istri Ki Ageng Mangir juga putri Panembahan Senopati Mataram di Kebayunan Tapos Depok  dan Makam Wali Mahmudin ,pembunuh Gubernur Jendral VOC ke 4 Yan Peters Zoen Coen 20 September 1629.
Makam Nyimas Utari Sandijayaningsih, Pembunuh JP Coen tahun 1629, Tapos Depok
Makam Santri Bethot Lie Suntek , Pahlawan Perang Banten - VOC 1682, nama menyatu dengan Kali Sunter, lokasi dekat mata air Kali Sunter, RW 07 Cilangkap Tapos Depok

Minggu, 20 Januari 2013

Makam Lie Suntek, Bendaharawan Kerajaan Banten 1682 di Cilangkap Tapos Depok

Terbaring dalam kebahagiaan , sendiri ketika berpisah dengan kawan kawan, Lie Suntek disemayamkan, menandai mata air Kali Sunter, dipanggil juga Santri Bethot, putra Raden Panji Wanayasa di Jatijajar, cicit dari Ki Ageng Mangir dan Pembayun, putri Panembahan Senopati.

Rabu, 16 Januari 2013

Sultan Salahudin dan kemenangan Islam di Perang Salib tahun 1187 , Penaklukan Hattin dan Yerusalem

Saat Salahudin berkuasa, perang salib sedang berjalan dalam fase kedua dengan dikuasainya Yerussalem oleh pasukan Salib. Namun pasukan Salib tidak mampu menaklukan Damaskus dan Kairo. Saat itu terjadi gencatan senjata antara Salahudin dengan Raja Yerussalem dari pasukan Salib, Guy de Lusignan. Perang salib yang disebut-sebut sebagai fase ketiga dipicu oleh penyerangan pasukan Salib terhadap rombongan peziarah muslim dari Damaskus. Penyerangan ini dipimpin oleh Reginald de Chattilon penguasa kastil di Kerak yang merupakan bagian dari Kerajaan Yerussalem. Seluruh rombongan kafilah ini dibantai termasuk saudara perempuan Salahudin. Insiden ini menghancurkan kesepakatan gencatan senjata antara Damaskus dan Yerussalem. Maret 1187 setelah bulan suci Ramadhan, Salahudin menyerukan Jihad Qittal. Pasukan muslimin bergerak menaklukan benteng-benteng pasukan Salib. Puncak kegemilangan Salahudin terjadi di Perang Hattin. Perang Hattin terjadi di bulan Juli yang kering. Pasukan muslim dengan jumlah 25000 orang mengepung tentara salib didaerah Hattin yang menyerupai tanduk. Pasukan muslim terdiri atas 12000 orang pasukan berkuda (kavaleri) sisanya adalah pasukan jalan kaki (infanteri).

Ki Ageng Mangir Wonoboyo III - Panembahan Senopati, Sebuah kisah tendensius Penyesatan Sejarah yang dipicu Pengislaman Ki Ageng Mangir dan wilayahnya?

Ki Ageng Mangir dan wilayah Mangir tidak perlu diperangi malah kalau bisa dirangkul, Patih Mondorokolah yang mengusulkan kepada Panembahan Senopati agar Ki Ageng Mangir ditarik kedalam barisan kekuatan (Aliansi) Mataram Mangir, mengingat kesaktian dan pengaruhnya di telatah Mataram bagian Barat, sebagai murid Sunan Kalijaga langsung, sangat mustahil kalau beliau mengawinkan cucu tercintanya dengan seorang non Muslim yang terjadi adalah proses dakwah Mataram melalui kesenian di wilayah Mangir, oleh karena itu Ki Ageng Mangir Wonoboyo III adalah menantu syah dari Panembahan Senopati, pengislamanya adalah proses panjang yang disetujui dan direstui sepenuhnya oleh Panembahan Senopati dan berakhir dengan pernikahan antara Roro Pembayun dengan Ki Ageng Mangir

Peran wanita Aceh dalam Sejarah dan Perlawanan Kolonial Belanda / Inggris / Portugis

Dibandingkan dengan sejarah perjuangan wanita di belahan bumi Nusantara yang lain, wanita pejuang Aceh dapat dikatakan dominan terlibat dalam perjuangan fisik melawan imperialisme Portugis maupun Belanda. Ini tentu saja harus dilihat dari latar belakang keterlibatan mereka terutama dari sudut pandang agama, Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk, ini dibuktikan dengan tinggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297 M di Pase, Aceh Utara dari kerajaan Islam pertama Samudera Pasai (Ambary, 1998:42). Sejak itu landasan ajaran Islam di sana dapat dikatakan sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh, bahkan kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana. Dalam masalah jihad (perang di jalan Allah), menurut Islam tidak ada perbedaan pria dan wanita, artinya sama-sama wajib berjihad untuk menegakkan agama Allah, sama-sama wajib berjihad untuk membela tanah air, sama-sama wajib bekerja untuk memimpin dan membangun negara, seperti yang tertuang pada hadist-hadist berikut (Hasjmy, 1976:23): Menurut sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang Sahabat-Wanita, yang mengatakan: Kami pergi berperang bersama Rasul Allah, dimana antara lain tugas kami menyediakan makan dan minum bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang syahid ke Madinah (Al Hadist Riwayat Bukhari). Seorang Sahabat-Wanita yang lain berkata: Kami ikut berperang bersama Rasul Allah sampai tujuh kali, dimana kami merawat prajurit yang luka, menyediakan makan dan minum bagi mereka (Al Hadist Riwayat Bukhari). Dari sumber yang lain, yaitu kitab yang bernama “Safinatul Hukkam” ditegaskan bahwa wanita boleh menjadi raja atau sultan, asal memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan (Syekh Jalaluddin Tursamy: Safinatul Hukkam, hal 27). Berdasarkan sumber hadist tersebut di atas adalah merupakan hal yang logis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama wanita yang telah memainkan peran penting di Aceh sejak zaman Kerajaan Islam Perlak sampai Kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini dapat dilihat dalam buku Risalah Akhlak yang ditulis oleh A. Hasjmy yang diterbitkan oleh Bulan Bintang pada awal tahun 1976. Nama-nama wanita tersebut yaitu (Hasjmy, 1976:24-26):

Kompleks Makam Laksamana Malahayati Di Aceh Besar

Makam ini terletak di dekat Benteng Inong Balee yang secara administratif berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh – Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan dibawahnya pantai dengan batuan karang. Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee dijumpai kompleks makam Laksamana Malahayati yaitu pada bagian puncak bukit kecil. Sekeliling areal makam adalah perladangan penduduk. Pencapaian ke kompleks makam tersebut ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga semen mulai dari bawah bukit. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu masuk berada di timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi oleh satu cungkup. Jirat berbentuk persegipanjang dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.

Ki Ageng Mangir Pembayun Leluhur kami di Tapos Depok

Anakku ke II dan ke III : Hafidz dan Nastafas , Trah Mangir di Depok Jawa Barat.

Makam Roro Pembayun, Putri Panembahan Senopati Mataram. Istri Ki Ageng Mangir Wonoboyo III

Tepekur aku disisi makam Pembayun, kekasih dan istri setia Ki Ageng Mangir, Putri terkasih Panembahan Senopati ing Mataram, Pejuang tangguh yang berkawan dengan Pangeran Jayakarta di Matraman Jatinegara, bersama dengan Bagus Wonoboyo anaknya terlibat pertempuran Mataram - VOC di Jepara tahun 1618, hijrah ke bumi Pajajaran. Tepekur aku disisi makam leluhur yang begitu menyala api perjuangannya, disini di pinggir Tol Jakarta - Bogor - Ciawi di Keramat Kebayunan, kampung Kebayunan, Kelurahan Tapos Depok Jawa Barat terbaring sesosok jiwa pemberani, pantang menyerah, cerdik dan penuh cinta kasih,

Makam Nyimas Utari Sandijayaningsih dan Wali Mahmudin, Pembunuh Yan Pieter Soen Coen Gubernur Jendral VOC ke 4. 20 September 1629

Makam Wali Mahmudin dan Nyimas Utari Sandijayaningsih yang sekarang ini masih dalam keadaan diperbaiki ini terletak di Kampung Tapos kelurahan Tapos Depok Jawa Barat. Utari Sandijayaningsih adalah putri dari Ki Bagus Wonoboyo yang merupakan putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun Mataram. Bersama dengan pasukan telik sandi Mataram dalam benteng VOC lainya Utari Sandijayaningsih pada tanggal 20 September 1629 berhasil membunuh Gubernur Jendral VOC ke 4 Yan Pieter Soen Coen dan memenggal kepalanya. Kepala YP Coen inilah yang dikuburkan di tangga Makam Sultan Agung di Pajimatan Imogiri.