Foto : Hasnan Habib |
Pesanggrahan
Rejowinangun merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah
Sultan Hamengku Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton
Yogyakarta yaitu berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini
untuk sisa pesanggrahan sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan
di sisa bangunan di sisi barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang
signifikan. Sisa bangunan di sisi barat sungai secara administratif berada di
Kalurahan Warung Boto, sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun
di sisi barat sungai lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya
disebut Situs Warung Boto). Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut
secara eksplisit tentang keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang,
nama pesanggrahan ini setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni
dalam bentuk babad dan serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut
disebutkan tentang nama pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2
waktu pembangunannya dengan tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan
Hamengku Buwono II naik tahta dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun
dan Reja Kusuma dibangun ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra
mahkota (Adipati Anom) sedangkan pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan
Wonocatur didirikan setelah beliau naik tahta sebagai sultan. Dari serat
tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk bangunan serta cakupan keseluruhan
pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut pesanggrahan Rejawinangun hanya
disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan klangenan dalam serat tersebut sebagai
sebuah (bangunan atau lingkungan binaan) yang ditata dengan menonjolkan
keindahan untuk dinikmati Sultan.
Foto : Hasnan Habib |
Pada waktu masih
dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun
didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan
undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai
memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini
memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat
ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi
timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks
bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur
utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh 30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar barat sungai yang hingga kini masih
meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak. Bangunan-bangunan di sisi barat
sungai atau kini sebagai situs Warung Boto merupakan kompleks bangunan berkamar
dengan halaman berteras di sisi barat, dengan kolam-kolam pemandian yang
berasal dari sumber mata air tawar (umbul). Keberadaan unsur bangunan yang
berintegrasi dengan unsur air sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman,
yakni merupakan area privat milik sultan dengan ciri tembok keliling yang
tinggi. Taman merupakan tempat peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal
ini terungkap pula melalui Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884
tulisan J.F Walrofen van Nes yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II
dan didalamnya sedikit menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam
tulisannya tersebut bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil
karya Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan
bagi raja dan keluarganya..
Naskah sejarah lain
yang menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad
Momana. Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai
pembangunan Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup
menarik, karena selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai
pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun
1711 (1785 M) Sultan Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata.
Jadi babad ini secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat
Rerenggan, yakni Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku
Buwana II masih sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh
Gubernur Belanda untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu
tahun 1787 hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia
bertemu dengan putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di
Pesanggrahan Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom
diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber
tertulis mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya
menyebut secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail
bagaimana proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan
bangunan-bangunannya. Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto
dapat diketahui dengan pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami
perubahan arsitektur sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan
Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat,
yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat
yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi
panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan
bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah
runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam
memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini
merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua
permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam
berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m,
tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini
masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut
mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar