Selasa, 13 Agustus 2013

Titik Nol , dimakam ayahanda dan kakek, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Semaki Yogyakarta Iedul Fitri 2013



Sebuah makam hanyalah sebuah tanda bahwa pemiliknya pernah ada dan mengada, dititik inilah kami menumpahlan segala kekangenan kami pada orang yang pernah memberikan segala-galanya pada kami, kasih sayang, ilmu, cerita tentang perjalanan keluarga kami , dari Ki Ageng Mangir I sampai Ki Ageng Mangir II, kisah yang indah, ironis, romantis menyedihkan dan menggugah semangat untuk lebih bijaksana dalam membangun sebuah keluarga sebab ternyata tak semua kebaikan itu mendatangkan keindahan, tak semua kejujuran itu mendatangkan kegembiraan, Sosok inilah yang membimbingku menyiapkan sebuah keluaraga yang akan menjadi pilar masa depan, perjalanan yang indah dan sangat menyentuh, ketika kami bersimpuh pada sebuah makam yang mampu menjadi sumber inspirasi moral bagi anak dan cucunya.

Pesanggrahan Warung Boto Peninggalan Hamengkubuwono I dan II


Foto : Hasnan Habib

Pesanggrahan Rejowinangun merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton Yogyakarta yaitu berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini untuk sisa pesanggrahan sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan di sisa bangunan di sisi barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang signifikan. Sisa bangunan di sisi barat sungai secara administratif berada di Kalurahan Warung Boto, sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun di sisi barat sungai lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya disebut Situs Warung Boto). Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut secara eksplisit tentang keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang, nama pesanggrahan ini setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni dalam bentuk babad dan serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut disebutkan tentang nama pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2 waktu pembangunannya dengan tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan Hamengku Buwono II naik tahta dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun dan Reja Kusuma dibangun ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra mahkota (Adipati Anom) sedangkan pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan Wonocatur didirikan setelah beliau naik tahta sebagai sultan. Dari serat tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk bangunan serta cakupan keseluruhan pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut pesanggrahan Rejawinangun hanya disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan klangenan dalam serat tersebut sebagai sebuah (bangunan atau lingkungan binaan) yang ditata dengan menonjolkan keindahan untuk dinikmati Sultan.
Foto : Hasnan Habib
Pada waktu masih dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh  30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar  barat sungai yang hingga kini masih meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak. Bangunan-bangunan di sisi barat sungai atau kini sebagai situs Warung Boto merupakan kompleks bangunan berkamar dengan halaman berteras di sisi barat, dengan kolam-kolam pemandian yang berasal dari sumber mata air tawar (umbul). Keberadaan unsur bangunan yang berintegrasi dengan unsur air sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman, yakni merupakan area privat milik sultan dengan ciri tembok keliling yang tinggi. Taman merupakan tempat peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal ini terungkap pula melalui Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884 tulisan J.F Walrofen van Nes yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II dan didalamnya sedikit menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam tulisannya tersebut bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil karya Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan bagi raja dan keluarganya..
Naskah sejarah lain yang menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad Momana. Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai pembangunan Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup menarik, karena selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun 1711 (1785 M) Sultan Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata. Jadi babad ini secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat Rerenggan, yakni Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku Buwana II masih sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh Gubernur Belanda untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu tahun 1787 hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia bertemu dengan putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di Pesanggrahan Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber tertulis mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya menyebut secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail bagaimana proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan bangunan-bangunannya. Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto dapat diketahui dengan pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami perubahan arsitektur sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat, yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m, tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.


Jumat, 28 Juni 2013

Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin , Abdi kesayangan Panembahan Senopati di Dlepih Kayangan.



Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin ini pekerjaanya pergi ke hutan Kahyangan guna mencari daun Puju, dll, disamping untuk keperluan sendiri daun tersebut untuk dijual sebagai penghasilan keluarga. Karena setiap hari pekerjaanya Nyai Puju ini keluar masuk hutan Kahyangan, lama- kelamaan sampai ia melihat Pnb. Senopati. Karena setiap saat Pn. Senopati melepas lelah di pemandian Kahyangan maupun di Sela Gilang. Pnb. Senopati memiliki wajah yang tampan, maka kelamaan Nyai Puju menaruh hati kepada Pnb. Senopati. Hal ini ditandai oleh Nyai Puju yang setiap ke hutan tentu berkeliaran di dekat Pnb. Senopati. Karenanya Nyai Puju berangkat di pagi buta dan pulang sudah larut malam. Dengan niat yang sungguh- sungguh, lama- kelamaan Nyai Puju akhirnya dapat menjumpai Pnb. Senopati, dan sudah barang tentu senang bagi Nyi Puju, apalagi Pnb. Senopati nampak begitu gembira setelah berkenalan dengan Nyai Puju, meski orang desa tapi wajahnya cukup lumayan.  Karena keduanya berkali- kali bahkan hampir tiap hari bertemu.
Kejadian yang berlanjut- lanjut ini membuat suaminya curiga. Dimana Kyai Puju (suami Nyai Puju) mulai kurang percaya lagi terhadap istrinya. Pada suatu hari, Kj Ratu Kidul datang di Kahyangan untuk menjumpai Pnb. Senopati, dan saat yang bersamaan Nyai puju ingin menjumpai Pnb. Senopati juga. Dan apa mau dikata waktu itu Pnb. Senopati sedang berjumpaan dengan Kj. Ratu Kidul dengan mengelus-elus tasbih yang terurai di leher Pnb Senopati, kejadian tersebut membuat cemburu Nyai Puju, dan seketika Nyai Puju langsung kembali kerumahnya menyusuri semak belukar. Kebetulan juga Kyai Puju bermaksud mencari istrinya karena sudah larut malam. Dari celah- celah semak ia melihat pertemuan Pnb Senopati dan bertemu istrinya . Pertemuan suami istri yang saling cemburu ini membuat keduanya menyadari posisinya dan saling mengaku salah , secara tak sadar mereka berolah asmara dan Nyai Roro Semangkin akhirnya hamil dan kelak melahirkan seorang anak yang sangat sakti bernama raden Ronggo , anak ini kelak diangkat anak oleh Panembahan Senopati oleh karena pengabdian Nyi Puju .
Ketika sudah menjadi raja Pnb. Senopati mengutus beberapa kurirnya ke Kahyangan untuk mencari Nyai Puju beserta Kyai Puju dan anak mereka , agar segera datang ke Mataram. Hal ini dikarenakan setelah Pnb Senopati menjadi Sultan Mataram, selalu teringat Nyai Puju. Namun ditengah perjalanan sebelum sampai Mataram Kyai Puju bunuh diri , karena ia merasa mempunyai kesalahan besar ketika ia mencemburui istrinya berselingkuh dengan Pnb. Senopati. Kyai Puju meninggal setibanya di daerah Jatibedug, segeralah mayatnya dikubur dipinggir jalan dengan undukan bebatuan ditepi jalan besar, sedangkan Nyai Puju dan anaknya Raden Ronggo terus saja dibawa ke Mataram. Setibanya di Kraton Mataram, Nayai Puju menerima hadiah yang bermacam- macam dari Pnb. Senopati. Disamping itu Pnb. Senopati juga berpesan kepada Nyai Puju Agar menjaga kawasan Kahyangan Dlepih. Dengan gembira setelah menerima hadiah dari Pnb. Senopati, maka disuatu malam Nyai Puju kembali ke Kahyangan untuk melaksanakan semua dawuh pnb. Senopati, mengingat Kahyangan merupakan daerah yang dikuasai Mataram, sementara anaknya tinggal di istana Kotagede. Nyai Puju semakin tua dan meninggal dunia. Sebagai sesepuh di desa Dlepih, maka jenazahnya dimakamkan didesa Dlepih selatan Khayangan. Adapaun Sukmanya menempati Sela Bethek seperti yang diminta Pnb. Senopati.

Rabu, 06 Februari 2013

Ki Ageng Mangir - Pembayun : Berkuda dan Memanah


Ki Ageng Mangir-Pembayun, Sebuah Kisah inspiratif untuk keturunannya. By Hasnan Habib Kota Depok.

Ternyata ada "sesuatu" yang luar biasa dari kisah Mangir - Pembayun, suatu episode kerajaan Mataram Kotagedhe yang terjadi sekitar tahun 1568 an itu, pada masa masa selanjutnya terjadi kisah menarik yaitu anak cucu ki Ageng Mangir - Pembayun dan anak cucu Panembahan Senopati yang lain saling bahu membahu, berinteraksi untuk melawan penjajahan atau ideologi yang berbeda khususnya yang bersifat kemerdekaan dalam hal ini VOC Belanda yang bersemangatkan Gold, Glory and Gospel, justru kita yang sering mengaku keturunan Ki Ageng Mangir tak pernah menunjukkan rasa bahu membahu itu, bahkan hanya sekedar bersilaturahmi saja kita enggan, marilah siapa saja yang mengaku trah Mangir, bersama sama membangun kehidupan di rantau, pusat penjajahan modern ini, saling bersambung rasa, bersama sama beraksi membuka usaha dan wawasan di Batavia modern ini.

Selasa, 05 Februari 2013

Nyutran Yogyakarta , Pemukiman Prajurit Mataram, Bumi Indah dimana aku dibesarkan


SEBELUM menjadi hunian, wilayah Nyutran berupa hutan bambu dan alang-alang. Banyak ditemui bambu apus, petung dan wulung. Bambu-bambu Nyutran biasa untuk memenuhi kebutuhan keraton ketika itu. Di zaman Sri Sultan HB VII dan VIII, misalnya, kerap dipakai membuat bedeng pada perayaan Garebeg di Alun-alun Utara. Disebut Nyutran berkait fungsinya sebagai barak Prajurit Nyutra. Pasukan elite ini sudah ada sejak zaman Sri Sultan HB I. Sumbangan dari Madura sebagai tanda persaudaraan Adipati Cakraningrat dengan Sultan Amangkurat Agung. Di Keraton Surakarta disebut Prajurit Panyutra, seperti nama asalnya dari desa Panyutra, Sumenep. Sedang di Yogya dinamai Prajurit Nyutra.