Ki Ageng Mangir - Pembayun: Trah Mataram, Mangir, Batavia, Samudera Pasai, Depok, Perjuangan Abadi
Anak-anakku sering bertanya, " Yah, aku ini anak Aceh atau anak Jogya ?" aku tertawa sebab Aceh dan Jogya tak ada bedanya, darah tetap darah, kataku " Nak, darahmu asli darah pejuang, jiwamu asli jiwa pemberontak, pejuang dan pemberontak selalu sama, diperlakukan tidak adil oleh penguasa " ganti anakku tertawa (entah apa yang ada dalam pikirannya). Kembali ke Titik Nol 11 September 2010. 2 hari sesudah Iedul Fitri 1431 H.
Selasa, 13 Agustus 2013
Titik Nol , dimakam ayahanda dan kakek, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Semaki Yogyakarta Iedul Fitri 2013
Sebuah makam hanyalah sebuah tanda bahwa pemiliknya pernah ada dan mengada, dititik inilah kami menumpahlan segala kekangenan kami pada orang yang pernah memberikan segala-galanya pada kami, kasih sayang, ilmu, cerita tentang perjalanan keluarga kami , dari Ki Ageng Mangir I sampai Ki Ageng Mangir II, kisah yang indah, ironis, romantis menyedihkan dan menggugah semangat untuk lebih bijaksana dalam membangun sebuah keluarga sebab ternyata tak semua kebaikan itu mendatangkan keindahan, tak semua kejujuran itu mendatangkan kegembiraan, Sosok inilah yang membimbingku menyiapkan sebuah keluaraga yang akan menjadi pilar masa depan, perjalanan yang indah dan sangat menyentuh, ketika kami bersimpuh pada sebuah makam yang mampu menjadi sumber inspirasi moral bagi anak dan cucunya.
Pesanggrahan Warung Boto Peninggalan Hamengkubuwono I dan II
Foto : Hasnan Habib |
Pesanggrahan
Rejowinangun merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah
Sultan Hamengku Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton
Yogyakarta yaitu berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini
untuk sisa pesanggrahan sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan
di sisa bangunan di sisi barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang
signifikan. Sisa bangunan di sisi barat sungai secara administratif berada di
Kalurahan Warung Boto, sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun
di sisi barat sungai lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya
disebut Situs Warung Boto). Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut
secara eksplisit tentang keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang,
nama pesanggrahan ini setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni
dalam bentuk babad dan serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut
disebutkan tentang nama pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2
waktu pembangunannya dengan tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan
Hamengku Buwono II naik tahta dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun
dan Reja Kusuma dibangun ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra
mahkota (Adipati Anom) sedangkan pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan
Wonocatur didirikan setelah beliau naik tahta sebagai sultan. Dari serat
tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk bangunan serta cakupan keseluruhan
pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut pesanggrahan Rejawinangun hanya
disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan klangenan dalam serat tersebut sebagai
sebuah (bangunan atau lingkungan binaan) yang ditata dengan menonjolkan
keindahan untuk dinikmati Sultan.
Foto : Hasnan Habib |
Pada waktu masih
dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun
didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan
undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai
memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini
memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat
ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi
timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks
bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur
utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh 30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar barat sungai yang hingga kini masih
meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak. Bangunan-bangunan di sisi barat
sungai atau kini sebagai situs Warung Boto merupakan kompleks bangunan berkamar
dengan halaman berteras di sisi barat, dengan kolam-kolam pemandian yang
berasal dari sumber mata air tawar (umbul). Keberadaan unsur bangunan yang
berintegrasi dengan unsur air sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman,
yakni merupakan area privat milik sultan dengan ciri tembok keliling yang
tinggi. Taman merupakan tempat peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal
ini terungkap pula melalui Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884
tulisan J.F Walrofen van Nes yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II
dan didalamnya sedikit menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam
tulisannya tersebut bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil
karya Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan
bagi raja dan keluarganya..
Naskah sejarah lain
yang menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad
Momana. Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai
pembangunan Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup
menarik, karena selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai
pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun
1711 (1785 M) Sultan Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata.
Jadi babad ini secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat
Rerenggan, yakni Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku
Buwana II masih sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh
Gubernur Belanda untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu
tahun 1787 hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia
bertemu dengan putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di
Pesanggrahan Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom
diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber
tertulis mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya
menyebut secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail
bagaimana proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan
bangunan-bangunannya. Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto
dapat diketahui dengan pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami
perubahan arsitektur sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan
Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat,
yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat
yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi
panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan
bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah
runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam
memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini
merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua
permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam
berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m,
tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini
masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut
mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Jumat, 28 Juni 2013
Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin , Abdi kesayangan Panembahan Senopati di Dlepih Kayangan.
Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin ini pekerjaanya
pergi ke hutan Kahyangan guna mencari daun Puju, dll, disamping untuk keperluan
sendiri daun tersebut untuk dijual sebagai penghasilan keluarga. Karena setiap
hari pekerjaanya Nyai Puju ini keluar masuk hutan Kahyangan, lama- kelamaan
sampai ia melihat Pnb. Senopati. Karena setiap saat Pn. Senopati melepas lelah
di pemandian Kahyangan maupun di Sela Gilang. Pnb. Senopati memiliki wajah yang
tampan, maka kelamaan Nyai Puju menaruh hati kepada Pnb. Senopati. Hal ini
ditandai oleh Nyai Puju yang setiap ke hutan tentu berkeliaran di dekat Pnb.
Senopati. Karenanya Nyai Puju berangkat di pagi buta dan
pulang sudah larut malam. Dengan niat yang sungguh- sungguh, lama- kelamaan Nyai
Puju akhirnya dapat menjumpai Pnb. Senopati, dan sudah barang tentu senang bagi
Nyi Puju, apalagi Pnb. Senopati nampak begitu gembira setelah berkenalan dengan
Nyai Puju, meski orang desa tapi wajahnya cukup lumayan. Karena keduanya berkali- kali bahkan hampir
tiap hari bertemu.
Kejadian yang berlanjut- lanjut ini
membuat suaminya curiga. Dimana Kyai Puju (suami Nyai Puju) mulai kurang
percaya lagi terhadap istrinya. Pada suatu hari, Kj Ratu Kidul datang di
Kahyangan untuk menjumpai Pnb. Senopati, dan saat yang bersamaan Nyai puju
ingin menjumpai Pnb. Senopati juga. Dan apa mau dikata waktu itu Pnb. Senopati
sedang berjumpaan dengan Kj. Ratu Kidul dengan mengelus-elus tasbih yang
terurai di leher Pnb Senopati, kejadian tersebut membuat cemburu Nyai Puju, dan
seketika Nyai Puju langsung kembali kerumahnya menyusuri semak belukar.
Kebetulan juga Kyai Puju bermaksud mencari istrinya karena sudah larut malam.
Dari celah- celah semak ia melihat pertemuan Pnb Senopati dan bertemu istrinya . Pertemuan suami istri
yang saling cemburu ini membuat keduanya menyadari posisinya dan saling mengaku
salah , secara tak sadar mereka berolah asmara dan Nyai Roro Semangkin akhirnya
hamil dan kelak melahirkan seorang anak yang sangat sakti bernama raden Ronggo
, anak ini kelak diangkat anak oleh Panembahan Senopati oleh karena pengabdian
Nyi Puju .
Ketika sudah menjadi raja Pnb. Senopati
mengutus beberapa kurirnya ke
Kahyangan untuk
mencari Nyai
Puju beserta Kyai Puju
dan anak mereka , agar segera datang ke Mataram. Hal ini dikarenakan setelah Pnb
Senopati menjadi Sultan Mataram, selalu teringat Nyai Puju.
Namun ditengah perjalanan sebelum sampai Mataram Kyai Puju bunuh diri , karena ia merasa mempunyai
kesalahan besar ketika ia
mencemburui istrinya berselingkuh dengan Pnb. Senopati. Kyai Puju meninggal setibanya di
daerah Jatibedug, segeralah mayatnya dikubur dipinggir jalan dengan undukan
bebatuan ditepi jalan besar, sedangkan Nyai Puju dan anaknya Raden Ronggo terus saja
dibawa ke Mataram.
Setibanya di
Kraton Mataram, Nayai Puju menerima hadiah yang bermacam- macam dari Pnb.
Senopati. Disamping itu Pnb. Senopati juga berpesan kepada Nyai Puju Agar menjaga
kawasan Kahyangan Dlepih. Dengan gembira setelah menerima hadiah dari Pnb.
Senopati, maka disuatu malam Nyai Puju kembali ke Kahyangan untuk melaksanakan
semua dawuh pnb. Senopati, mengingat
Kahyangan merupakan daerah yang dikuasai Mataram, sementara anaknya tinggal di istana Kotagede. Nyai Puju
semakin tua dan meninggal dunia. Sebagai sesepuh di desa Dlepih, maka jenazahnya dimakamkan didesa Dlepih selatan Khayangan. Adapaun Sukmanya menempati Sela Bethek seperti
yang diminta Pnb. Senopati.
Rabu, 06 Februari 2013
Ki Ageng Mangir-Pembayun, Sebuah Kisah inspiratif untuk keturunannya. By Hasnan Habib Kota Depok.
Ternyata ada "sesuatu" yang luar biasa dari kisah Mangir - Pembayun, suatu episode kerajaan Mataram Kotagedhe yang terjadi sekitar tahun 1568 an itu, pada masa masa selanjutnya terjadi kisah menarik yaitu anak cucu ki Ageng Mangir - Pembayun dan anak cucu Panembahan Senopati yang lain saling bahu membahu, berinteraksi untuk melawan penjajahan atau ideologi yang berbeda khususnya yang bersifat kemerdekaan dalam hal ini VOC Belanda yang bersemangatkan Gold, Glory and Gospel, justru kita yang sering mengaku keturunan Ki Ageng Mangir tak pernah menunjukkan rasa bahu membahu itu, bahkan hanya sekedar bersilaturahmi saja kita enggan, marilah siapa saja yang mengaku trah Mangir, bersama sama membangun kehidupan di rantau, pusat penjajahan modern ini, saling bersambung rasa, bersama sama beraksi membuka usaha dan wawasan di Batavia modern ini.
Selasa, 05 Februari 2013
Nyutran Yogyakarta , Pemukiman Prajurit Mataram, Bumi Indah dimana aku dibesarkan
SEBELUM menjadi hunian,
wilayah Nyutran berupa hutan bambu dan alang-alang. Banyak ditemui bambu
apus, petung dan wulung. Bambu-bambu Nyutran biasa untuk memenuhi
kebutuhan keraton ketika itu. Di zaman Sri Sultan HB VII dan VIII,
misalnya, kerap dipakai membuat bedeng pada perayaan Garebeg di
Alun-alun Utara. Disebut Nyutran berkait fungsinya sebagai
barak Prajurit Nyutra. Pasukan elite ini sudah ada sejak zaman Sri
Sultan HB I. Sumbangan dari Madura sebagai tanda persaudaraan Adipati
Cakraningrat dengan Sultan Amangkurat Agung. Di Keraton Surakarta
disebut Prajurit Panyutra, seperti nama asalnya dari desa Panyutra,
Sumenep. Sedang di Yogya dinamai Prajurit Nyutra.
Minggu, 03 Februari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)