Makam ini terletak di dekat Benteng Inong Balee yang secara administratif berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh – Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan dibawahnya pantai dengan batuan karang. Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee dijumpai kompleks makam Laksamana Malahayati yaitu pada bagian puncak bukit kecil. Sekeliling areal makam adalah perladangan penduduk. Pencapaian ke kompleks makam tersebut ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga semen mulai dari bawah bukit. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu masuk berada di timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi oleh satu cungkup. Jirat berbentuk persegipanjang dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm./
Berikut adalah deskripsi makam:
- Makam I: berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan.
- Makam II: berada di antara Makam I dan Makam III, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan.
/
- Makam III: terletak di sisis timur dari Makam II. Ukuran nisan lebih kecil dari Makam I dan Makam II. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.
Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam sunan di Giri, Muria, dan Gunung Jati di Cirebon, Kompleks Makam Papan Tinggi dan Mahligai di Barus
/
Armada Inong Balee
Pada zaman Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah tahun 997-1011 H (1589-1604), dibentuk sebuah armada yang sebagian prajurit-prajuritnya terdiri dari janda-janda yang disebut Armada Inong Balee. Armada ini dipimpin Laksamana Malahayati, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dalam suatu pertempuran laut.
Armada Inong Balee berulangkali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan Malaya. Seorang wanita penulis asal Belanda, Marie van Zuchyelen dalam bukunya “Vrouwolijke Admiral Malahayati” memuji Laksamana Malahayati dengan armada Inong Baleenya itu, terdiri dari 2000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas (Hasjmy, 1975:95). Laksamana Malahayati melatih para janda menjadi prajurit kesultanan yang tangguh di dalam sebuah benteng, yaitu Benteng Inong Balee. Laksamana Malahayati juga diberi wewenang oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris Ratu Elizabeth I, Sir James Lancaster yang datang ke Aceh dengan tiga kapal yaitu Dragon, Hector dan Ascentic pada tanggal 6 Juni 1602 dengan membawa sepucuk surat dari Ratu Inggris (Mann, 2004:23).
/
Pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil yang memerintah dalam tahun 1011-1015 H (1604-1607) keberadaan prajurit wanita itu masih tetap dipertahankan, yaitu dengan dibentuknya Sukey Kaway Istana (Kesatuan Pengawal Istana). Kesatuan Pengawal Istana itu terdiri dari Si Pa-i Inong (prajurit wanita) di bawah pimpinan dua pahlawan wanita: Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseun (Hasjmy, 1975:95).
/
Kedua pimpinan Kesatuan Pengawal Istana itulah yang telah berjasa membebaskan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (Jamil, 1959:114). Setelah pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil berakhir, dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah yang memerintah pada tahun 1016-1045 H (1607-1636 M). Pada masa itu Kerajaan Aceh Darussalam berkembang pesat dan mengalami masa keemasannya. Perhatian sultan kepada para prajurit wanita cukup besar. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, di antaranya membentuk suatu kesatuan pengawal istana yang terdiri dari prajurit wanita di bawah pimpinan seorang jenderal wanita, Jenderal Keumala Cahaya. Dari catatan sejarah kesatuan wanita tersebut sebagian merupakan Kesatuan Kawal Kehormatan yang terdiri dari prajurit wanita cantik. Kesatuan ini bertugas menyambut tamu-tamu agung atau para pembesar baik dari kalangan pembesar kerajaan di nusantara maupun dari luar/asing dengan barisan kehormatannya.
Anak-anakku sering bertanya, " Yah, aku ini anak Aceh atau anak Jogya ?" aku tertawa sebab Aceh dan Jogya tak ada bedanya, darah tetap darah, kataku " Nak, darahmu asli darah pejuang, jiwamu asli jiwa pemberontak, pejuang dan pemberontak selalu sama, diperlakukan tidak adil oleh penguasa " ganti anakku tertawa (entah apa yang ada dalam pikirannya). Kembali ke Titik Nol 11 September 2010. 2 hari sesudah Iedul Fitri 1431 H.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar