Dibandingkan dengan sejarah perjuangan wanita di belahan bumi Nusantara yang lain, wanita pejuang Aceh dapat dikatakan dominan terlibat dalam perjuangan fisik melawan imperialisme Portugis maupun Belanda. Ini tentu saja harus dilihat dari latar belakang keterlibatan mereka terutama dari sudut pandang agama, Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk, ini dibuktikan dengan tinggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297 M di Pase, Aceh Utara dari kerajaan Islam pertama Samudera Pasai (Ambary, 1998:42). Sejak itu landasan ajaran Islam di sana dapat dikatakan sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh, bahkan kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana. Dalam masalah jihad (perang di jalan Allah), menurut Islam tidak ada perbedaan pria dan wanita, artinya sama-sama wajib berjihad untuk menegakkan agama Allah, sama-sama wajib berjihad untuk membela tanah air, sama-sama wajib bekerja untuk memimpin dan membangun negara, seperti yang tertuang pada hadist-hadist berikut (Hasjmy, 1976:23):
Menurut sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang Sahabat-Wanita, yang mengatakan: Kami pergi berperang bersama Rasul Allah, dimana antara lain tugas kami menyediakan makan dan minum bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang syahid ke Madinah (Al Hadist Riwayat Bukhari).
Seorang Sahabat-Wanita yang lain berkata: Kami ikut berperang bersama Rasul Allah sampai tujuh kali, dimana kami merawat prajurit yang luka, menyediakan makan dan minum bagi mereka (Al Hadist Riwayat Bukhari).
Dari sumber yang lain, yaitu kitab yang bernama “Safinatul Hukkam” ditegaskan bahwa wanita boleh menjadi raja atau sultan, asal memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan (Syekh Jalaluddin Tursamy: Safinatul Hukkam, hal 27). Berdasarkan sumber hadist tersebut di atas adalah merupakan hal yang logis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama wanita yang telah memainkan peran penting di Aceh sejak zaman Kerajaan Islam Perlak sampai Kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini dapat dilihat dalam buku Risalah Akhlak yang ditulis oleh A. Hasjmy yang diterbitkan oleh Bulan Bintang pada awal tahun 1976. Nama-nama wanita tersebut yaitu (Hasjmy, 1976:24-26):
/
Puteri Lindung Bulan, anak bungsu dari Raja Muda Sedia yang memerintah Kerajaan Islam Benua/Teuming pada tahun 1333-1398 M.
/
Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, yang menjadi ratu terakhir yang memerintah Kerajaan Islam Samudra/Pase pada tahun 1400-1428 M.
/
Laksamana Malahayati, seorang janda muda yang menjadi panglima dari Armada Inong Balee masa Sultan Alaidin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah pada tahun 1589-1604 M./
Ratu Safiatuddin, yang memerintah Aceh pada tahun 1641-1675 M.
Ratu Naqiatuddin, yang memerintah Aceh pada tahun 1675-1678 M.
Ratu Zakiatuddin, yang memerintah Aceh pada tahun 1678-1688 M.
Ratu Kamalat, yang memerintah Aceh pada tahun 1688-1699 M.
/
Cut Nyak Dhien, istri dari Tuku Umar yang meneruskan perjuangan suaminya hingga akhirnya ditangkap dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat hingga wafat di sana.
/
Teungku Fakinah, seorang wanita Ulama yang menjadi pahlawan, memimpin sebuah kesatuan dalam Perang Aceh dan setelah perang usai Teungku Fakinah mendirikan Pusat Pendidikan Islam yang bernam Dayah Lam Biran.
/
Cut Meutia, seorang pahlawan wanita yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya di dalam hutan dan mati syahid ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pocut Baren, seorang pahlawan wanita yang pada tahun 1898-1906 M memimpin perang terhadap Belanda, dan akhirnya tertawan dalam mempertahankn bentengnya karena luka parah pada tahun 1906.
/
Pocut Meurah Intan, Srikandi yang juga bernama Pocut Biheu, bersama putera-puteranya, Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin berperang pantang menyerah melawan Belanda selama bertahun-tahun. Pada tahun 1904 dalam keadaan luka parah bersama puteranya Tuanku Nurdin, ia ditawan Belanda. Sedangkan puteranya yang lain, Tuanku Muhammad telah syahid pada tahun 1902.
/
Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri dari seorang ulama besar, Tengku Kahtim atau Tengku Chik Mataie. Cutpo Fatimah bersama suaminya, Tengku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia dan suaminya syahid. Pada pertempuran tanggal 22 Februari 1912 ketika bertempur melawan Belanda keduanya syahid.
Uraian tersebut menggambarkan peran agama dan kebudayaan Islam begitu besar mempengaruhi kehidupan rakyat Aceh sampai pada perjuangan melawan Portugis maupun Belanda. Jiwa keagamaan merupakan landasan pokok, rakyat baik pria dan wanita berjuang untuk mengusir Portugis atau Belanda di Aceh dengan gigih.
/
Mati melawan penjajah itu berarti mati syahid. Sikap inilah yang melandasi semangat juang Laksamana Malahayati bersama pasukannya untuk melakukan pertempuran dan penangkapan terhadap kapten kapal Belanda, Cornelis dan Frederik de Houtman. Pertempuran lainnya adalah di Laut Aru dengan Portugis yang ingin menguasai daerah pesisir pantai timur Aceh. Keberaniannya dalam memimpin suatu pertempuran yang dilandasi dengan kesetiaan pada kerajaan melambangkan cita-citanya yang kuat untuk mengusir penjajah dari wilayahnya. Karya nyata perjuangannya itu diwujudkan dengan membangun sebuah benteng pertahanan yang khusus bagi para janda untuk mengantisipasi serangan Portugis dari kawasan Selat Malaka, Benteng Inong Balee. Laksamana Malahayati melatih kemiliteran bagi para janda di dalam benteng tersebut. Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa dan kegigihan Laksamana Malahayati dalam mempertahankan wilayah dan eksistensi kerajaannya, maka makamnya diletakan pada suatu puncak bukit di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi NAD.
/
Laut Nusantara telah menyisakan sederet kisah-kisah kepahlawanan yang dapat menjadi teladan bagi kita. Walaupun kisah kepahlawanan Laksamana Malahayati belum sepenuhnya terungkap namun keberadaan tinggalan arkeologis berupa Benteng Inong Balee dan Kompleks Makam Laksamana Malahayati menguatkan bukti sejarah kisah perjuangan, tidak hanya dalam mempertahankan eksistensi kerajaannya saja, lebih dari itu Laksamana Malahayati berjuang juga demi harkat dan martabat kaumnya. Untuk mengenang jasa Laksamana Malahayati, sekitar 560 m arah utara kompleks makam terdapat pelabuhan laut untuk kegiatan bongkar muat barang maupun penyeberangan, yaitu Pelabuhan Malahayati. Nama Malahayati juga dijadikan nama kapal perang TNI AL kawasan timur/Armada Timur yaitu KRI Malahayati.
Anak-anakku sering bertanya, " Yah, aku ini anak Aceh atau anak Jogya ?" aku tertawa sebab Aceh dan Jogya tak ada bedanya, darah tetap darah, kataku " Nak, darahmu asli darah pejuang, jiwamu asli jiwa pemberontak, pejuang dan pemberontak selalu sama, diperlakukan tidak adil oleh penguasa " ganti anakku tertawa (entah apa yang ada dalam pikirannya). Kembali ke Titik Nol 11 September 2010. 2 hari sesudah Iedul Fitri 1431 H.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar