Persoalan
sejarah Mangir ini sampai sekarang masih dirasa menggelisahkan,
terutama di kalangan sejarawan, arkeolog, budayawan, dan umum yang
mempunyai perhatian pada bidang sejarah. Oleh karena itu pula PSM
(Pusat Studi Masyarakat) bekerja sama dengan LIP (Lembaga Indonesia
Perancis), dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan menggelar
seminar dengan judul Refleksi Sejarah Lokal: Mangiran Tanah Perdikan.
Seminar diselenggarakan pada hari Rabu, 12 November 2003 jam 16.00
WIB-18.00 WIB dengan mengambil tempat di auditorium LIP Sagan Yogyakarta.
Seminar menampilkan 3 pembicara yakni G. Moedjanto, RPA Suryanto
Sastroatmojo, dan Bondan Nusantara serta dimoderatori oleh Hendro
Pleret.
Menurut
Gunawan selaku ketua PSM menyatakan bahwa generasai muda sekarang
banyak yan tidak tahu tentang sejarah bahkan sejarah dalam lingkungan
terdekatnya. Ketidaktahuan sejarah masa lalu dan kebutaan melangkah
pada masa depan menyebabkan bangsa ini kian terpuruk. Untuk itu
perlu terus dikaji ulang sejarah masa lalu karena banyak penggal/periode
sejarah bangsa ini yang masih gelap sampai sekarang. Sejarah Mangir
dapat dipandang sebagai penggal sejarah yang gelap itu.
Sejarah
Mangir yang Selama Ini Dikenal
Apabila
orang Jawa (Yogya dan sekitarnya) ditanya tentang sejarah Mangir
hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan menjawab bahwa Mangir
adalah pemberontak yang melawan Mataram. Mangir adalah sosok yang
menjadi menantu dan sekaligus musuh Panembahan Senapati. Mangir
adalah seorang tokoh sakti yang memiliki tombak Kiai Baruklinthing
yang kematiannya dilakukan dengan cara dibenturkan kepalanya ke
atas sela gilang oleh Panembahan Senapati. Demikian sejarah Mangir
secara umum dikenal.
Versi
dan Tafsir Lain Tentang Sejarah Mangir
Di
samping sejarah Mangir seperti yang telah dikenal umum ada beberapa
versi lain mengenai sejarah Mangir ini. Menurut RPA Suryanto Sastroatmojo
pusat kediaman/keraton Mangir lama ada di Dusun Mangir, Kalurahan
Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sedang
kediaman/keraton Mangir yang baru adalah di Dusun Mangiran, Kalurahan
Mangiran, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di samping
itu, makam Ki Ageng Mangir juga dipercayai ada di banyak tempat.
Di samping di kompleks makam Kotagede, makam Ki Ageng Mangir juga
dipercayai berada di Saralaten, Godean, Sleman, Yogyakarta.
Menurut
G.Moedjanto, agar keluarga dan pengikut Mangir berhenti berebut
jenazah Mangir, terpaksalah keluarga dan pengikut Mangir ini minta
bantuan tokoh yang dianggap sakti/dihormati untuk menengahinya.
G.Moedjanto berdasarkan cerita tutur yang didapatkannya menyebutkan
bahwa untuk menengahi perkara pemakaman Ki Ageng Mangir ini dibuatlah
tiga buah peti mati. Ketiga peti mati itu dilarang untuk dibuka.
Kepada masing-masing keluarga diberikan peti jenazah. Ketiga keluarga/pengikut
Mangi tersebut menerima keputusan tersebut. Barangkali berdasarkan
kisah inilah kemudian makam Mangir ada di beberapa tempat. Masing-masing
makam Mangir ini sampai sekarang masih dipercaya orang bahwa semuanya
adalah asli.
Sedangkan
RPA Suryanto Sastroatmojo mengajukan argumen bahwa ada kemungkinan
besar Ki Ageng Mangir sesungguhnya tidak dibunuh dalam pengertian
wantah. Menurut hipotesanya Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senapati
telah mencapai tahap konsolidasi dengan perjanjian-perjanjian atau
kesepakatan-kesepakatan tertentu. Suryanto Sastroatmojo mendasarkan
dugaannya pada beberapa alasan seperti berikut.
- Bahwa sangat sukar diterima nalar apabila seorang raja besar seperti Panembahan Senapati membinasakan musuhnya (Ki Ageng Mangir) yang jelas-jelas sudah menyerah kepada dirinya.
- Seorang ayah mertua tentu tidak akan tega begitu saja membunuh menantunya (Ki Ageng Mangir) yang telah menyerahkan diri. Lebih-lebih pada saat itu putranya sendiri (Rara Pembayun) yang diperistri oleh Ki Ageng Mangir tengah mengandung calon cucunya.
- Konsolidasi dan perjanjian-perjanjian itu salah satunya menghasilkan kesepakatan bahwa Ki Ageng Mangir dipersilakan untuk pergi meninggalkan Mangir dan Mataram. Kepergian Ki Ageng Mangir diduga kuat turut menyebarkan keturunannya di berbagai wilayah, di antaranya Banjarnegara, Kedu, dan sebagainya.
- Apabila dugaan ini benar, maka sebenarnya penghapusan sejarah Mangir pada lembaran sejarah Tanah Jawa oleh penguasa Mataram berjalan dengan rapi, halus, dan efektif serta barangkali, tidak begitu menyakitkan bagi keturunan Mangir.
Sejarah adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu dalam ruang dan waktu yang jelas. Dari peristiwa itu orang bisa memetik hikmahnya. Dari hikmah itu manusia bisa menapaki masa kini dan masa depan dengan lebih arif dan bijak. Itu harapannya. Sayangnya, tidak setiap peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu jelas ruang dan waktunya. Ada banyak peristiwa sejarah yang ruang, pelaku, dan waktunya kabur atau dikaburkan. Padahal mestinya, belajar sejarah adalah belajar melihat kenyataan. Sepahit dan sepedih apa pun peristiwa masa lalu, sebaiknya ia dilihat seperti apa adanya. Bukan untuk membangkit-bangkit sakit hati tetapi untuk cermin agar manusia di zaman sesudahnya bisa berkaca dan selalu introspeksi. Sumber: Tembi.org
Catatan penulis : sekali lagi jejak pengislaman perdikan Mangir tidak muncul dalam diskusi ini, kenyataan bahwa Ki Ageng Mangir diwilayah gerbang Mataram sebelah barat sangat jauh asumsinya dengan pengaruhnya pada penentangan para bupati pesisir dan Brang Wetan Jawa seperti tertulis dalam buku Ki Ageng Mangirnya Kang Purwadi:
Para bupati dari Pati, Jepara, Kudus, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Blambangan, Lumajang, Probolinggo, Kediri, Ponorogo dan Madiun melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat Kerajaan Mataram. Panembahan Senopati beserta jajarannya segera melakukan strategi untuk mengatasi gerakan separatis itu. Disadari penuh oleh segenap aparat Mataram bahwa Ki Ageng Mangir adalah tokoh yang sakti mandraguna. Dia mempunyai pusaka ampuh, yaitu Kyai Baru Klinthing. Lagipula dari segi genetika, ia masih keturunan Prabu Brawijaya, raja Majapahit. Tak mengherankan bila Ki Ageng Mangir cukup berpengaruh di kalangan bangsawan pesisir dan tlatah Brang Wetan.
Inilah sejarah, ditulis oleh orang lain dan dinterprestaikan menurut siapa yang berkuasa menulis, namun seperti juga kisah G-30S-PKI , kebenaran tidak hanya punya Suharto dan rezimnya, jadi suka tidak suka kita harus menerima beberapa versi dari kebenaran sejarah itu sendiri. By Hasnan Habib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar