Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925
sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya bernama
Mastoer, seorang guru dan ibunya bernama Oemi Saidah, seorang ibu rumah tangga dan pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada
masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan
seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia
menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Hoakiau di Indonesia
Selama
masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia,
dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di
China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis
Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris
pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara
terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an
ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya.
Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia,
serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya
Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri.
Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan
sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya
dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995,
diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes'
ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding
sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail
sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut
'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak
orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian
penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Yassin
pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi,
ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang
lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam
berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini
merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut
pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala
peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada
jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan
sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara
Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965
itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa
saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'.
Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala.
Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika
memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya,
tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru
berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan
suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok
secara terbuka di koran.
Multikulturalis
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer,
dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang
dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya
dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual,
mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat
perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru
selama masa 1970-an.
Banyak
dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda,
kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari
tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya
sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai
akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun
akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar