Anak-anakku sering bertanya, " Yah, aku ini anak Aceh atau anak Jogya ?" aku tertawa sebab Aceh dan Jogya tak ada bedanya, darah tetap darah, kataku " Nak, darahmu asli darah pejuang, jiwamu asli jiwa pemberontak, pejuang dan pemberontak selalu sama, diperlakukan tidak adil oleh penguasa " ganti anakku tertawa (entah apa yang ada dalam pikirannya). Kembali ke Titik Nol 11 September 2010. 2 hari sesudah Iedul Fitri 1431 H.
Selasa, 13 Agustus 2013
Titik Nol , dimakam ayahanda dan kakek, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Semaki Yogyakarta Iedul Fitri 2013
Sebuah makam hanyalah sebuah tanda bahwa pemiliknya pernah ada dan mengada, dititik inilah kami menumpahlan segala kekangenan kami pada orang yang pernah memberikan segala-galanya pada kami, kasih sayang, ilmu, cerita tentang perjalanan keluarga kami , dari Ki Ageng Mangir I sampai Ki Ageng Mangir II, kisah yang indah, ironis, romantis menyedihkan dan menggugah semangat untuk lebih bijaksana dalam membangun sebuah keluarga sebab ternyata tak semua kebaikan itu mendatangkan keindahan, tak semua kejujuran itu mendatangkan kegembiraan, Sosok inilah yang membimbingku menyiapkan sebuah keluaraga yang akan menjadi pilar masa depan, perjalanan yang indah dan sangat menyentuh, ketika kami bersimpuh pada sebuah makam yang mampu menjadi sumber inspirasi moral bagi anak dan cucunya.
Pesanggrahan Warung Boto Peninggalan Hamengkubuwono I dan II
Foto : Hasnan Habib |
Pesanggrahan
Rejowinangun merupakan salah satu pesanggrahan yang dibangun atas perintah
Sultan Hamengku Buwono II. Pesanggrahan ini berada di sebelah timur Kraton
Yogyakarta yaitu berlokasi di sisi timur dan barat sungai Gajah Wong. Saat ini
untuk sisa pesanggrahan sisi timur sungai telah banyak yang hilang, sedangkan
di sisa bangunan di sisi barat sungai masih relatif menunjukkan sisa-sisa yang
signifikan. Sisa bangunan di sisi barat sungai secara administratif berada di
Kalurahan Warung Boto, sehingga peninggalan kekunoan Pesanggrahan Rejowinangun
di sisi barat sungai lebih sering disebut Umbul Warung Boto (selanjutnya
disebut Situs Warung Boto). Adapun sumber-sumber sejarah tertulis yang menyebut
secara eksplisit tentang keberadaan pesanggrahan Rejowinangun sangat jarang,
nama pesanggrahan ini setidaknya ditemukan pada dua naskah kesejarahan yakni
dalam bentuk babad dan serat Macapatan. Pada serat Sinom tersebut lebih lanjut
disebutkan tentang nama pesanggrahan- pesanggrahan yang dibedakan menjadi 2
waktu pembangunannya dengan tanpa menyebut angka tahun, yakni sebelum Sultan
Hamengku Buwono II naik tahta dan sesudah naik tahta. Pesanggrahan Rejawinangun
dan Reja Kusuma dibangun ketika Sultan Hamengku Buwono II masih sebagai putra
mahkota (Adipati Anom) sedangkan pesanggrahan Purworejo, Cendhonosari dan
Wonocatur didirikan setelah beliau naik tahta sebagai sultan. Dari serat
tersebut tidak terungkap bagaimana bentuk bangunan serta cakupan keseluruhan
pesanggrahan. Dalam serat Rerenggan tersebut pesanggrahan Rejawinangun hanya
disebut sebagai “klangenan” . Penyebutan klangenan dalam serat tersebut sebagai
sebuah (bangunan atau lingkungan binaan) yang ditata dengan menonjolkan
keindahan untuk dinikmati Sultan.
Foto : Hasnan Habib |
Pada waktu masih
dimanfaatkan sebagai pesanggrahan milik sultan, pesanggrahan Rejawinangun
didirikan pada sisi barat dan timur sungai Gajah Wong dengan memanfatkan
undak-undak sungainya. Antara kompleks bangunan sisi timur dan barat sungai
memiliki sumbu imajiner yang membujur timur hingga barat. Sumbu imajiner ini
memotong pula aliran sungai Gajah Wong yang mengalir ke selatan. Hingga saat
ini tidak diketahui dengan pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan di sisi
timur sungai, tetapi hingga tahun 1936 masih jelas terlihat jika kompleks
bangunan sisi timur sungai terbagi menjadi 3 kompleks yang membujur
utara-selatan dengan pagar keliling serta dihubungkan oleh 30 meter. Sedangkan kompleks bangunan di sisi±jalan berpagar selebar barat sungai yang hingga kini masih
meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak. Bangunan-bangunan di sisi barat
sungai atau kini sebagai situs Warung Boto merupakan kompleks bangunan berkamar
dengan halaman berteras di sisi barat, dengan kolam-kolam pemandian yang
berasal dari sumber mata air tawar (umbul). Keberadaan unsur bangunan yang
berintegrasi dengan unsur air sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman,
yakni merupakan area privat milik sultan dengan ciri tembok keliling yang
tinggi. Taman merupakan tempat peristirahatan sultan dan kaum kerabatnya. Hal
ini terungkap pula melalui Tijdschriff voor Nederlandsch Indie tahun 1884
tulisan J.F Walrofen van Nes yang mengupas tentang Sultan Hamengku Buwono II
dan didalamnya sedikit menyinggung tentang Umbul Warung Boto. Disebutkan dalam
tulisannya tersebut bawah Umbul Warung Boto adalah salah satu bangunan hasil
karya Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai bangunan peristirahatan
bagi raja dan keluarganya..
Naskah sejarah lain
yang menyebutkan tentang keberadaan Pesanggahan Rejawinangun adalah Babad
Momana. Dari Babad Momana tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mulai
pembangunan Pesanggrahan Rejawinangun adalah di tahun 1711 tersebut cukup
menarik, karena selama ini Pesanggrahan Rejawinangun dikenal sebagai
pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Padahal pada tahun
1711 (1785 M) Sultan Hamengku Buwono I masih bertahta sebagai sultan Yogyakata.
Jadi babad ini secara tidak langsung mempertegas apa yang disebut dalam Serat
Rerenggan, yakni Pesanggrahan Rejawinangun dibangun ketika sultan Hamengku
Buwana II masih sebagai Adipati Anom Amangkunegara. Catatan Belanda yakni oleh
Gubernur Belanda untuk Jawa bagian timur, yakni J. Greeve yang pada kurun waktu
tahun 1787 hingga 1791 pernah bekunjung ke Yogyakarta dan pada waktu itu ia
bertemu dengan putra mahkota yaitu pangeran Adipati Anom Amangkunegara di
Pesanggrahan Rejawinangun. Baru di tahun Je 1718 (1792 M) Pangeran Adipati Anom
diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II menggantikan Hamengku Buwono.
Dari sumber-sumber
tertulis mengenai keberadaan Pesanggrahan Rejawinangun keseluruhannya hanya
menyebut secara eksplisit, jadi tidak bisa dijelaskan dengan pasti dan detail
bagaimana proses pembangunan pesanggrahan maupun bentuk dan luasan
bangunan-bangunannya. Padahal dari sisa-sisa bangunan di Situs Warung Boto
dapat diketahui dengan pasti jika bangunan-bangunan tersebut pernah mengalami
perubahan arsitektur sekaligus penambahan bangunan.
Bangunan Pesanggrahan
Rejawinangun terbagi atas 2 bagian. Bagian pertama terletak di sebelah barat,
yakni bangunan yang mengelilingi dua buah kolam. Kolam pertama berbentuk bulat
yang berdiameter 4,5 m dan kedalaman 0,5 m. Kolam kedua berbentuk empat persegi
panjang dengan panjang 10 m dan kedalaman 0,75 m. Bangunan ini merupakan
bangunan bertingkat yang sebagian ruangan yang berada di tingkat atas telah
runtuh. Lorong-lorong yang terdapat di bangunan yang mengelilingi kolam
memiliki langit-langit berbentuk lengkung. Seluruh bangunan di bagian ini
merupakan bangunan bata yang telah menggunakan perekat dan diplester di kedua
permukaannya. Bagian kedua terletak di sebelah timur , yakni bangunan kolam
berbentuk kolam berbentuk U yang berdinding bata dengan ukuran panjang 6 m,
tinggi 3 m dan tebal 60 cm. Di bagian utara dan selatan bagian kedua ini
masing-masing dijumpai patung manuk beri. Keberadaan pesanggrahan tersebut
mempunyai berbagai nilai penting baik sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Oleh karena itu, keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang RI No. 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Jumat, 28 Juni 2013
Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin , Abdi kesayangan Panembahan Senopati di Dlepih Kayangan.
Kisah Ki Puju dan Nyai Puju atau Roro Semangkin ini pekerjaanya
pergi ke hutan Kahyangan guna mencari daun Puju, dll, disamping untuk keperluan
sendiri daun tersebut untuk dijual sebagai penghasilan keluarga. Karena setiap
hari pekerjaanya Nyai Puju ini keluar masuk hutan Kahyangan, lama- kelamaan
sampai ia melihat Pnb. Senopati. Karena setiap saat Pn. Senopati melepas lelah
di pemandian Kahyangan maupun di Sela Gilang. Pnb. Senopati memiliki wajah yang
tampan, maka kelamaan Nyai Puju menaruh hati kepada Pnb. Senopati. Hal ini
ditandai oleh Nyai Puju yang setiap ke hutan tentu berkeliaran di dekat Pnb.
Senopati. Karenanya Nyai Puju berangkat di pagi buta dan
pulang sudah larut malam. Dengan niat yang sungguh- sungguh, lama- kelamaan Nyai
Puju akhirnya dapat menjumpai Pnb. Senopati, dan sudah barang tentu senang bagi
Nyi Puju, apalagi Pnb. Senopati nampak begitu gembira setelah berkenalan dengan
Nyai Puju, meski orang desa tapi wajahnya cukup lumayan. Karena keduanya berkali- kali bahkan hampir
tiap hari bertemu.
Kejadian yang berlanjut- lanjut ini
membuat suaminya curiga. Dimana Kyai Puju (suami Nyai Puju) mulai kurang
percaya lagi terhadap istrinya. Pada suatu hari, Kj Ratu Kidul datang di
Kahyangan untuk menjumpai Pnb. Senopati, dan saat yang bersamaan Nyai puju
ingin menjumpai Pnb. Senopati juga. Dan apa mau dikata waktu itu Pnb. Senopati
sedang berjumpaan dengan Kj. Ratu Kidul dengan mengelus-elus tasbih yang
terurai di leher Pnb Senopati, kejadian tersebut membuat cemburu Nyai Puju, dan
seketika Nyai Puju langsung kembali kerumahnya menyusuri semak belukar.
Kebetulan juga Kyai Puju bermaksud mencari istrinya karena sudah larut malam.
Dari celah- celah semak ia melihat pertemuan Pnb Senopati dan bertemu istrinya . Pertemuan suami istri
yang saling cemburu ini membuat keduanya menyadari posisinya dan saling mengaku
salah , secara tak sadar mereka berolah asmara dan Nyai Roro Semangkin akhirnya
hamil dan kelak melahirkan seorang anak yang sangat sakti bernama raden Ronggo
, anak ini kelak diangkat anak oleh Panembahan Senopati oleh karena pengabdian
Nyi Puju .
Ketika sudah menjadi raja Pnb. Senopati
mengutus beberapa kurirnya ke
Kahyangan untuk
mencari Nyai
Puju beserta Kyai Puju
dan anak mereka , agar segera datang ke Mataram. Hal ini dikarenakan setelah Pnb
Senopati menjadi Sultan Mataram, selalu teringat Nyai Puju.
Namun ditengah perjalanan sebelum sampai Mataram Kyai Puju bunuh diri , karena ia merasa mempunyai
kesalahan besar ketika ia
mencemburui istrinya berselingkuh dengan Pnb. Senopati. Kyai Puju meninggal setibanya di
daerah Jatibedug, segeralah mayatnya dikubur dipinggir jalan dengan undukan
bebatuan ditepi jalan besar, sedangkan Nyai Puju dan anaknya Raden Ronggo terus saja
dibawa ke Mataram.
Setibanya di
Kraton Mataram, Nayai Puju menerima hadiah yang bermacam- macam dari Pnb.
Senopati. Disamping itu Pnb. Senopati juga berpesan kepada Nyai Puju Agar menjaga
kawasan Kahyangan Dlepih. Dengan gembira setelah menerima hadiah dari Pnb.
Senopati, maka disuatu malam Nyai Puju kembali ke Kahyangan untuk melaksanakan
semua dawuh pnb. Senopati, mengingat
Kahyangan merupakan daerah yang dikuasai Mataram, sementara anaknya tinggal di istana Kotagede. Nyai Puju
semakin tua dan meninggal dunia. Sebagai sesepuh di desa Dlepih, maka jenazahnya dimakamkan didesa Dlepih selatan Khayangan. Adapaun Sukmanya menempati Sela Bethek seperti
yang diminta Pnb. Senopati.
Rabu, 06 Februari 2013
Ki Ageng Mangir-Pembayun, Sebuah Kisah inspiratif untuk keturunannya. By Hasnan Habib Kota Depok.
Ternyata ada "sesuatu" yang luar biasa dari kisah Mangir - Pembayun, suatu episode kerajaan Mataram Kotagedhe yang terjadi sekitar tahun 1568 an itu, pada masa masa selanjutnya terjadi kisah menarik yaitu anak cucu ki Ageng Mangir - Pembayun dan anak cucu Panembahan Senopati yang lain saling bahu membahu, berinteraksi untuk melawan penjajahan atau ideologi yang berbeda khususnya yang bersifat kemerdekaan dalam hal ini VOC Belanda yang bersemangatkan Gold, Glory and Gospel, justru kita yang sering mengaku keturunan Ki Ageng Mangir tak pernah menunjukkan rasa bahu membahu itu, bahkan hanya sekedar bersilaturahmi saja kita enggan, marilah siapa saja yang mengaku trah Mangir, bersama sama membangun kehidupan di rantau, pusat penjajahan modern ini, saling bersambung rasa, bersama sama beraksi membuka usaha dan wawasan di Batavia modern ini.
Selasa, 05 Februari 2013
Nyutran Yogyakarta , Pemukiman Prajurit Mataram, Bumi Indah dimana aku dibesarkan
SEBELUM menjadi hunian,
wilayah Nyutran berupa hutan bambu dan alang-alang. Banyak ditemui bambu
apus, petung dan wulung. Bambu-bambu Nyutran biasa untuk memenuhi
kebutuhan keraton ketika itu. Di zaman Sri Sultan HB VII dan VIII,
misalnya, kerap dipakai membuat bedeng pada perayaan Garebeg di
Alun-alun Utara. Disebut Nyutran berkait fungsinya sebagai
barak Prajurit Nyutra. Pasukan elite ini sudah ada sejak zaman Sri
Sultan HB I. Sumbangan dari Madura sebagai tanda persaudaraan Adipati
Cakraningrat dengan Sultan Amangkurat Agung. Di Keraton Surakarta
disebut Prajurit Panyutra, seperti nama asalnya dari desa Panyutra,
Sumenep. Sedang di Yogya dinamai Prajurit Nyutra.
Minggu, 03 Februari 2013
Trah Ki Ageng Mangir : BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925
sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya bernama
Mastoer, seorang guru dan ibunya bernama Oemi Saidah, seorang ibu rumah tangga dan pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada
masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan
seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia
menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Hoakiau di Indonesia
Selama
masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia,
dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di
China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis
Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris
pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara
terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa.
Sabtu, 02 Februari 2013
Trah Ki Ageng Mangir , Saat saat terakhir SM Kartosuwiiryo , sebagaimana leluhurnya Ki Ageng Mangir, akhir hayat yang tragis
Aku menangis saat menulis ini, bukan masalah siapakah dia, tetapi kenapa
dia berani mengambil keputusan yang menyebabkan dia harus mati
mempertahankan keyakinannya, persis seperti kakek moyangnya Ki Ageng
Mangir yang juga harus wafat demi keyakinannya,
Bertemu keluarga sebelum dihukum tembak |
Trah Ki Ageng Mangir Pembayun dan Trah Tengku Sai'di , Hikmah Gempa Aceh dan Yogyakarta
Istriku , Zunaidah TWH binti Choiruddin, Trah Tengku Sai"salah satu ulama kerajaan Pasai di tahun 1350, yang dimakamkan di kompleks makam ratu Nahrisyah di Samudera Pasai Aceh Utara |
Tahun 2004 tanggal 26 Desember, sebuah gempa besar terjadi di Aceh yang disusul dengan tsunami dahsyat, Bumi indah Aceh bersimbah duka, beratus ribu korban jiwa termasuk setengah dari keluarga Trah Tengku Sai"di di Banda Aceh hilang sampai saat ini. Anak-anakku terpana, aku dan istriku terpana, mengapa ada duka yang luarbiasa dibumi tempat Allah pernah menjadikannya Sorga ini.
Anakku Rausyan Fikri , lahir di Medan Sumut, 10 Desember 1993 |
Anakku Hafidz Al Ammar, lahir di Cijantung , 8 Agustus 1996 |
Anakku Nastafas Assyifa, Lahir di Kalisari 15 Juli 1999 |
Jumat, 01 Februari 2013
Kapankah Islam masuk ke Nusantara ?
- Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
- Seminar masuknya Islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al Mas'udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
- Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di Medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
- Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalannya ke China.
- Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
- Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
- Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
- Prof. S. Muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
- W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T'ang memberitahukan adanya Arab muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
Naskah Sastra Melayu Klasik Koleksi Rafles Disimpan di London
Saat seseorang berkunjung
atau berziarah ke suatu makam tokoh terkenal dalam sejarah, tentu yang
dilihat tidak saja makam tua yang telah berabad-abad itu. Selain melihat
nama dan tahun tokoh itu mangkat, juga akan dilihat apa yang tertulis
pada batu nisan tokoh yang amat terkenal itu. Sebagai salah satu contoh
seseorang yang berkunjung ke bekas Kerajaan Samudera Pasai di Aceh
Utara, disana ada makam Sultan Malik al Saleh yang wafat tahun 696 H.
Pada
inskripsi yang terdapat pada bagian depan nisan kepala baginda tertulis
dalam bahasa Arab yang artinya "Kuburan ini kepunyaan hamba yang
dihormati, yang diampuni, yang taqwa yang menjadi penasehat yang
terkenal yang berketurunan, yang mulia, yang kuat, beribadat, penakluk,
yang bergelar Sultan Malik al Salih.
Prof. Ibrahmi Alvian dalam bukunya "Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah" mengatakan suatu yang sangat menarik di makam Malik al Saleh itu. Pada bagian belakang Nisan beliau terdapat puisi dalam Bahasa Arab. Puisi tersebut oleh J.P Moquette dengan bantuan Dr. Van Ronkel disalin kemudian diterjemahkan sebagai berikut :
Prof. Ibrahmi Alvian dalam bukunya "Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah" mengatakan suatu yang sangat menarik di makam Malik al Saleh itu. Pada bagian belakang Nisan beliau terdapat puisi dalam Bahasa Arab. Puisi tersebut oleh J.P Moquette dengan bantuan Dr. Van Ronkel disalin kemudian diterjemahkan sebagai berikut :
Samudera Pasai, Kampus besar Walisongo
Warisan Sejarah: Peninggalan Samudera Pasai Kurang Terurus
Batu nisan dan prasasti peninggalan zaman Kerajaan Samudera Pasai di kompleks pemakaman Tengku Batee Balee, Desa Meucat, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Aceh, sebagian kondisinya masih bagus, Sabtu (9/4). Sayangnya, sebagian besar peninggalan serupa yang banyak tersebar di hampir seluruh wilayah Aceh kini tak terurus.
Ki Ageng Mangir - Pramudya Ananta Tur dan Kartosuwiryo, Sebuah Missing Link
Ada hubungan yang sangat erat antara Kartosuwiryo , Pramudya dengan Ki Ageng Mangir yaitu memang secara genetika mereka nyambung terkait, upaya Pram menemukan jati dirinya hampir dipuncaknya ketika menulis tentang Ki Ageng Mangir leluhurnya, kalau kita mencermati secara dalam, maka kita akan menyadari bahwa Pramudya menempatkan Ki Ageng Mangir sebagai "manusia biasa" dan tombak sakti Baru Klinting adalah seorang manusia adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Pramudya salah satu keturunan Ki Ageng Mangir menyadari keterbatasan manusia, siapapun dia, tak ada kesaktian dalam memimpin yang ada adalah dipercaya oleh rakyat, jadi siapapun sebenarnya bisa jadi pemimpin. Sebagai salah satu trah Mangir penulis sangat yakin bahwa ada dilema batin dalam diri Mangir yang ambigu, dan memang Ki Ageng Mangir adalah sosok pemimpin yang siap mengambil keputusan besar walaupun dalam keadaan selalu mendua. Lihatlah perjalanan hidup Pramudya yang penuh dengan penderitaan, hidupnya penuh dengan pemberontakan, itu karena memang jiwa dan ruh Mangir yang selalu berusaha mencapai ekspresi tertinggi dalam memutuskan untuk keluar dari dualitas, situasinya sangat ruwet dan penuh halangan, namun tak mengurangi kwalitas hidup, seperti yang ditunjukkannya ketika Pram ditahan tanpa proses pengadilan di pulau Buru, tetap saja Pram berkarya. Tentu tak banyak yang bersedia mencantumkan Pramudya sebagai salah satu sesepuh Trah, apalagi juga dengan tegas mencatumkan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo sebagai bagian dari Trahnya, sebab memang Trah Mangir dipenuhi dengan jiwa jiwa yang memberontak, jiwa jiwa yang harus berjuang diantara keyakinan lain dalam kehidupan mereka , namun terus terang penulis mendidik anak seperti penulis dididik oleh ayahanda untuk selalu ingat sesanti Ki Ageng Mangir : siap menjadi Ontorejo bukan Gatotkaca, siap menjadi akar pohon bukan menjadi dahan dan ranting pohon, siap dalam kegelapan, tanpa mencari nama besar, sebab keyakinanlah yang menyebabkan kita menjadi besar. Seekor Ikan Cethul (ikan seribu) pun selalu berani menentang arus sungai, sebab yang mengikuti arus sungai hanya sampah dan kotoran.
Ki Ageng Mangir, Jejak gelap Pengislaman Perdikan Mangir
Sejarah
Mangir sampai sekarang masih terbatas pada cerita tutur yang akurasinya
juga masih simpang siur. Babad Mangir sebagai salah satu sumber
yang sering dirujuk juga penuh dengan mitos, legenda, dan simbol-simbol
dalam kerangka waktu dan ruang juga akurasinya patut dikaji ulang. Sementara sumber sejarah yang benar-benar dapat dikatakan sejarah
tentang Mangir sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada. Sejarah
Mangir lebih banyak dikenal melalui cerita tutur, pentas ketoprak,
babad, dan buku cerita. Di samping itu, generasi muda (khususnya
di wilayah Yogya) sekarang dapat dikatakan hampir tidak mengenal
lagi sejarah Mangir.
Ki Ageng Mangir dan jejaknya : Jaan Pieters Zoen Coen, pahlawan VOC yang namanya diabadikan dalam mata uang Hindia Belanda, dibunuh oleh sorang gadis Mataram
Kamis, 31 Januari 2013
Ki Ageng Mangir Panembahan Senopati , versi Trah Mangir Tapos Depok Jawa Barat
Selama ini secara umum diketahui bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir adalah
sang mertua sendiri, Pangembahan Senopati. Tetapi ada catatan lain yang
menyatakan bahwa bukan Panembahan Senopati yang membunuh
menantunya itu. Seperti diketahui pembunuhan Ki Ageng Mangir terjadi di
tengah-tengah acara paseban raja. Watu Gilang yang dipakai untuk
menghantam(-kan) kepala Ki Ageng Mangir adalah batu tempat sholat
Panembahan Senopati. Kalau mengacu pada catatan ini, maka teori watu
gilang sebagai bukti dan tempat perkara kejadian terbantahkan. Singgasana raja
Mataram waktu itu adalah kursi kayu berukir dan pastinya tingginya lebih dari 60 cm, sementara batu Gilang tingginya sekitar 30 cm, tidaklah mungkin seorang raja duduknya "ndlosor" atau model lesehan, jadi si penyebar berita kematian Mangir disinggasana Panembahan Senopati pastilah tidak melihat secara langsung kejadiannya.
Panembahan Senopati
adalah seorang Muslim yang taat. Janji untuk menerima pisowanan Ki Ageng
Mangir sebagai menantu adalah kata "sabda pandita ratu" yang tidak
mungkin diingkari. Sedangkan mengingat Ki Ageng Mangir adalah orang yang
sakti mandraguna, maka yang bisa membunuhnya pastilah orang yang
"sakti" juga. Kata sakti diberi tanda petik, artinya bisa saja orang ini
tidak terlalu sakti, tetapi memiliki "ilmu kecurangan" tersendiri.
Pembunuhan yang dilakukan dilakukan didepan raja adalah tuduhan
tendensius untuk menyebar dan menimbulkan asumsi Panembahan Senopati adalah kejam dan
pengecut. Dari catatan baru tersebut terungkap suatu fakta lain, adanya
tokoh misterius di dalam lingkaran dalam (inner circle) kekuasaan
kraton Mataram. Konon dia adalah putra Panembahan Senopati yang lain,
yaitu Raden Ronggo yang selama ini bertindak sebagai agen penghubung
bagi para adipati yang "mbalelo" terhadap Mataram. Tokoh inilah yang
disinyalir kuat sebagai pembunuh Ki Ageng Mangir. Kepala Ki Ageng Mangir pecah bukan karena dibenturkan sang mertua pada watu gilang, tetapi remuk dihantam dari arah belakang oleh Raden Ronggo ketika Ki Ageng Mangir sedang shalat Asyar. Seperti diketahui Raden Ronggo sangat kuat, dia biasa mempermainkan "watu gatheng" seberat 15 kg, dipakai untuk membentuk kekuatan tangannya (jaman sekarang : besi barbel). Raden Ronggo adalah putra Panembahan Senopati yang mampu dipengaruhi oleh para adipati yang membangkang terhadap Mataram. Keberadaannya di kraton Mataram tidak disukai bahkan oleh Panembahan Senopati sendiri. Disinyalir dia cemburu berat pada Ki Ageng Mangir yang tiba-tiba diambil mantu oleh ayahnya, dan selain itu adalah bahwa Raden Ronggo orang yang suka pamer ilmu kesaktian, Ki Ageng Mangir dipandang sebagai orang sakti yang akan menjadi pesaingnya di Mataram, watak ini sudah dibaca oleh Panembahan Senopati. Maka begitu ada kesempatan untuk membunuh Ki Ageng Mangir, dia pun tak malu-malu bertindak, sekalipun dengan main curang. Patih Mondoroko yang kebetulan ada di dekatnya, tidak mampu mencegah pembunuhan itu, saking cepatnya gerakan Raden Ronggo menghantamkan batu ke Ki Ageng Mangir.
Patih Mondoroko yang adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijogo, adalah tokoh yang mengislamkan Ki Ageng Mangir. Secara logika hampir tidak mungkin Mondoroko menikahkan putri sulung raja yang sekaligus cucu kesayangannya, Sekar Pembayun, dengan orang non Muslim. Permintaan pengislaman Ki Ageng Mangir adalah atas permintaan pribadi Panembahan Senopati karena dia menginginkan tambahan kekuatan dari wilayah Mangir , data intelejen yang dihimpun tim lapangan Mataram menyimpulkan kalau Ki Ageng Mangir lebih tepat dijadikan kawan atau menantu daripada dijadikan musuh.
Ki Ageng Mangir adalah salah satu tokoh sakti dan pemimpin yang didukung oleh kekuatan rakyat. Oleh karena itu kalau Mataram merangkulnya, maka akan tercipta kekuatan baru pendukung Mataram. Strategi pendekatannya adalah dengan menjadikannya sebagai menantu. Rupanya gelagat ini dibaca oleh para adipati pembangkang dan mereka kemudian mempengaruhi Raden Ronggo untuk memanfaatkan momentum yang tepat untuk membunuh Ki Ageng Mangir tanpa sepengetahuan Panembahan Senopati. Akibat peristiwa itu Panembahan Senopati marah besar pada Raden Ronggo, tak lama kemudian raden Ronggo terbunuh secara misterius oleh seekor naga, konon Raden Ronggo tewas oleh tusukan tombak Baru Klinthing yang dipegang oleh patih Rojoniti , adik kandung Ki Ageng Mangir diluar tembok Mataram dalam suatu pertarungan yang fair, itulah yang membuat tak ada gejolak besar di wilayah Mangir, Jadi penyebaran berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati adalah intrik politik musuh musuh dalam istana Mataram untuk mendiskreditkan reputasi Panembahan Senopati.
Sementara ada berita khusus tentang Patih Rojoniti yang diberikan daerah Perdikan disebelah utara pantai Samas, yang sekarang disebut dengan Kepatihan, terletak di wilayah Srandakan, untuk menghormati Mangir maka tempat itu hanya disebut dengan Patehan. Rojoniti bersama dengan para pembatunya Ki Pandan Wangi dan pengikutnya agar membuka lahan disebelah utara dan sebelah timur Pertapan Watu Singkil. Patih Rojoniti dinobatkan sebagai pelindung “Rojoniten”. Ki Pandan Wangi memberi nasihat agar dalam membuka lahan dibagi menjadi 5 perdikan, yaitu sebelah timur yang dipimpin Ki Demang Onggojoyo pada akhirya disebut Dusun Demangan,sebelah timur laut dipimpin oleh Nyai Irogati pada akhirnya disebut Perdikan Irogaten,disebelah selatan di pimpin oleh Ki Rejo Menggalan. Cokro Kenongo membuka lahan daerah yang sudah rata pada akhirnya disebut menjadi Dusun Wanarata dan akhirnya sebelah utara dipimpin oleh ki Delingsara
Sekar Kedaton Pembayun adalah seorang wanita yang cekatan, cerdik dan berfikiran jauh kedepan. Ia adalah anak sulung dan anak kesayangan Panembahan Senopati. Fakta bahwa dia dikirim ke kakeknya Ki Penjawi di Pati, paska terbunuhnya Ki Ageng Mangir, adalah usaha ki Mondoroko dan Panembahan Senopati untuk meredam kepedihan hati putrinya. Kelak ia melahirkan seorang pahlawan bernama Bagus Wanabaya yang menjadi Murid kesayangan Pangeran Benawa di Kendal lalu di kemudian hari berjuang melawan VOC Belanda membantu Sultan Agung. Paska perang VOC dan Mataram di Jepara, pada tahun 1619 Putri Pembayun bersama rombongan veteran perang Jepara hijrah ke Kebayunan, Tapos, Depok dan atas inisiatif Ki Jepra sebagai tetua keturunan Pajajaran rombongan bisa bertemu dengan Pangeran Jayakarta di Jatinegara sesudah Pangeran Jayakarta gagal mempertahankan Sunda kelapa dari serbuan Yaan Pieters Zoen Coen. Kemampuan intelektual dan kecakapan bertindak Putri Pembayun sebagai petugas intelejen sangat mendukung data sejarah tersebut. Boleh dikata Putri Pembayun adalah salah satu pahlawan wanita tokoh sejarah lintas nasional, bukan sekedar lokal Jawa Tengah, Mataram atau Bantul saja.
Selanjutnya ada kisah menarik lainnya yaitu Tumenggung Maduseno yang merupakan suami dari cucu Putri Pembayun, Dewi Sekar Rinonce. Sekar Rinonce adalah putri dari Bagus Wanabaya dengan Nyai Linggarjati, adik Purwagalih dengan gelar Ki Jepra, salah satu keturunan Siliwangi. Bagus Wanabaya berputra 3 orang : Utari Sandi Jayaningsih, Raden Panji Wanayasa dan Dewi Sekar Rinonce ( Dimakamkan di Cilangkap RW 8 Tapos Depok). Tumenggung Maduseno sendiri adalah putra dari Panembahan Sedo Krapyak, raja Mataram ke II yang menjadi salah satu komandan Pasukan Mataram di Batavia. Jadi alur sejarah Ki Bodronolo di Kebumen kemungkinan besar berasal dari Dewi Sekar Rinonce ini. Keturunan Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun kebanyakan menyebar di Kebayunan, Tapos, Depok. Upaya untuk menghilangkan sejarah ini sesuai dengan tujuan Ki Bagus Wanabaya yang menginginkan agar anak-keturunan Ki Ageng Mangir lebih baik berbaur saja di masyarakat tanpa gelar kebangsawanan. Oleh sebab darah kepahlawanan itu bukan berasal dari kraton tetapi dari kiprah trah Mangir di lapangan. Ki Bagus Wanabaya lebih menginginkan agar keturunannya bisa berperan seperti akar pohon, yang mampu menghidupi seluruh pohon tanpa harus kelihatan dari luar. Sebagaimana dulu Bagus Wanabaya dan seluruh anak-anaknya giat menjadi komandan pasukan telik-sandi Mataram di Batavia (tahun 1625 - 1629) untuk menjadi tokoh penting penyerbuan Mataram ke Batavia. Tentu saja penguasaan bahasa Belanda merupakan syarat mutlak untuk menjadi Tim Intelejen Mataram di Batavia pada masa itu.
Rabu, 30 Januari 2013
Ki Ageng Mangir : Jejak Cucunya di Batavia, Raden Panji Wanayasa Jatijajar Tapos Depok
Raden Panji Wanayasa (dimakamkan di Tepi Danau Jatijajar Tapos Depok Jawabarat) , Pejuang bangsa di palagan Batavia VOC 1625 - 1629 dalam ekspedisi Kaladuta Sultan Agung. Dilanjutkan dengan Palagan Cikeas Kali Sunter 1682 dalam perang Sultan Ageng Tirtayasa. Telik sandi unggulan Mataram didalam benteng Batavia menyamar sebagai perawat kereta kuda. Putra Bagus Wonoboyo dan Nyimas Linggarjati ini adalah cucu langsung dari Ki Ageng Mangir Roro Pembayun, berarti juga cicit dari Panembahan Senopati, berjuang untuk kerajaan Mataram Plered , dibawah raja Sultan Agung Hanyokrokusumo yang tak lain tak bukan adalah sama sama cicit Panembahan Senopati. Putra Panji Wanayasa adalah Lie Suntek alias Santri Bethot yang menjadi salah satu penasehat khusus kerajaan Banten. Panji Wanayasa beristrikan seorang Cina Batavia, yang kelak menjadi pejuang membantu Mas Garendi di pembrontakan Cina. Salahsatu kakaknya adalah Nyai Dewi Sekar Rinonce istri dari Tumenggung Maduseno yang punya nama lain Kertiwongso yang pernah menjabat sebagai adipati Mataram di Jepara, Maduseno inilah pembawa kepala JP Coen ke Mataram yang disamarkan dalam bungkusan yang dibawa oleh anaknya yang baru berumur lima tahun bernama Bodronolo, pada waktu itu Nyai Dewi sekar Rinonce ibunya masih berada di Bumi Tapos Depok, Kemungkinan besar sang ibu tak pernah pergi ke Mataram sebab di Kampung Sindang Karsa Cilangkap RW 08 terdapat kompleks makam misterius Mak Uyut Cerewet , tak ada bangunan nisan dalam seluruh kompleks karena memang tak ada yang berani membangun dalam kompleks makam itu, tersebutlah nama Nyimas Dewi Sekar Rinonce dalam makam tersebut sebagai pemilik makam tertua di kompleks makam misterius yang tampak selalu bersih dan teduh, seakan akan ada orang yang selalu menyapu makam setiap saat.
Langganan:
Postingan (Atom)